Rabu, 08 November 2023

HILANGNYA IDENTITAS KAMPUNG MELAYU SEJAK PERTENGAHAN ABAD 20

Menurut Singgih, sekitar tahun 1970-an aktivitas perdagangan antar pulau mengalami kemunduran, karena adanya penguasaan perdagangan antar pulau oleh etnik Cina. Aktivitas perdagangan dan pelayaran di pelabuhan lama Semarang mulai terlihat surut. Hal ini terjadi karena pengaruh proses sedimentasi ke arah utara, instruksi air laut, proses pendangkalan dan penyempitan volume kanal baru, sehingga kapal dan jung tidak dapat berlabuh di Kawasan ini. Fenomena tersebut memberi dampak yang cukup besar pada kemajuan aktivitas perdagangan di Kampung Melayu. Pada dasawarsa ini terjadi perkembangan permukiman baru yang sangat pesat di daerah hinterland kota Semarang . Eksistensi permukiman Kampung Melayu semakin terdesak oleh perkembangan permukiman baru di wilayah Semarang barat terutama dengan adanya pembangunan Perumahan Tanah Mas dan Semarang Indah, yang hanya mementingkan kebutuhan Kawasan (site) tersebut tanpa memperhatikan lingkungan di sikitarnya. Sejak itu Kampung Melayu mulai terjebak pada lingkaran permasalahan yang tiada akhir sampai sekarang, terrutama masalah banjir, rob dan menurunnnya kualitas lingkungan permukiman tersebut. Identitas Kampung Melayu pada saat ini lebih dikenal sebagai Kawasan mati, kumuh, daerah rawan banjir, rob dan juga rawan kriminalitas. Akibatnya kawasan tersebut mulai ditinggalkan oleh penghuninya ke daerah yang lebih baik. Ironisnya bangunan – bangunan kuno yang mulai aus dipergunakan sebagai tempat budidaya walet. Keterkaitan dan besarnya rasa memiliki masyarakat terhadap permukiman (place) semakin luntur, sehingga tidak lagi terlihat adanya keserasian hubungan antara manusia dan lingkungan permukiman tersebut. Karakter dan identitas Kampung Melayu yang mengakar pada nilai – nilai historis dan pengungkapan makna mulai sirna, elemen – elemen primer dan image Kawasan tidak mampu lagi mengkomunikasikan makna dan nilai yang ada. Hal ini terjadi karena hilangnya spirit of place beriringan dengan turunnya kualitas lingkungan di Kampung Melayu. Dalam perkembangannya Kampung Melayu mengalami transformasi fungsi dan bentuk bangunan, mengubah pola tatanan permukiman dan social budaya masyarakatnya. A. Transformasi Fungsi Bangunan Place merupakan wujud dari kumpulan ruang memmpunyai makna kontektual dan nilai – nilai budaya. Fumiko Maki, berpendapat bahwa kota ( kawasan) merupakan kronologi historis sebagao perwujudan ruang dan bentuk kolektif. Maka dalam penataan Kawasan perlu dikaji aspek aristektural dan sosio kultural Kawasan tersebut yang dikaitkan dengan urban history. Place adalah tempat yang memiliki karakter yang jelas, kronologi perkembangan tempat tersebut dapat menjelaskan genius loci dan spirit of place. Untuk menghindari ketunggalrupaan pada suatu lingkungan binaan, perlu adanya Upaya mempertahankan identitas dan sense of place. Place dalam suatu lingkungan bukan hanya berbeda, tetapi mempunyai identitas perseptual yang jelas yaitu: recognizable, memorable, vivid. Setiap tempat pada lingkungan yang luas tidak dapat dibedakan dengan yang lain secara radikal, pusat – pusat penting yang mempunyai makna akan memiliki keunikan tersendiri. Kualitas dari identitas (sense of place) merupakan titik temu dari lingkungan yang unik dan bermakna. Identitas dapat diuji dengan mengidentifikasi di lapangan dan keberadaannya dapat diprediksikan dalam proposal perencanaan. Saat ini banyak bangunan rumah tinggal di Kampung Melayu mengalami perubahan fungsi bangunan menjadi tempat budidaya sarang burung walet. Fenomena transformasi fungsi bangunan banyak terjadi di daerah Pasar Regang (Koridor Layur). Bahkan sekarang mulai merembes ke blok – blok permukiman di sebelah barat Pasar Regang, misalnya di Kampung Banjar dan Kampung Bedas. Menurut Muchsin Alatas, beberapa bangunan kuno di sepanjang koridor Layur yang ditinggalkan oleh penghuninya diwakafkan untuk perawatan masjid Menara, sekitar 27 rumah yang diwakafkan. Sayangnya belum ada koordinasi dan arah pemikiran perawatan dan pemanfaatan bangunan secara ortimal dan terpadu. Sehingga bangunan – bangunan tersebut hanya berdiri kokoh, tidak mencerminkan makna dan nilai budaya tertentu. Pada malam hari daerah – daerah tersebut terlihat mati, menakutkan dan tidak memiliki spirit of place, imageability dan legibility.

KAMPUNG MELAYU PADA PERTENGAHAN ABAD 20 SAMPAI TAHUN 2010

Singgih Prasetyo, seorang tetua di Kampung Melayu, mengemukakan setelah pendudukan Jepang di Jawa, perdagangan antar pulau berhenti dan mati. Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan perdagangan Cina dan Arab berkembang Kembali, sedangkan pada tahun 1950 berkembang perdagangan antar pulau oleh orang – orang Banjar. Setelah kelura PP no. 10 tahun 1963 yang berisi : Cina tidak diperbolehkan berada di daerah kecamatan, melainkan harus berada di daerah tingkat II, banyak orang – orang Cina Kembali ke Tiongkok, sehingga perdagangan antar pulau Jawa – Kalimantan, yang diwakili oleh orang Banjar semakin berkembang, sedangkan pasaran pedagang Arab hanya dalam skala lokal. Kemudian tahun 1965 Perdagangan Banjar, Arab dan Cina berkembang dengan seimbang. Setelah Orde Baru perdagangan antar pulau Kembali macet, karena adanya penguasaan perdagangan oleh etnik Cina. Pasang surut perkembangan perdagangan di Kampung Melayu sejalan dengan kronologi perkembangan aktivitas perdagangan di Semarang, karena keduanya membentu link yang saling mengikat dan mempengaruhi. Pada saat pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa di Semarang, kedalaman dan kebersihan Kali Semarang selalu dikontrol. Di kanal baru terdapat jembatan putar untuk keperluan dan kemudahan lalu lintas kapal keruk Belanda, untuk membersihkan dan memdalam sungai. Sampai tahun 1955 kapal keruk masih bisa masuk sampai Kali Cilik. Sejak tahun 1970-an Kampung Melayu mulai terjebak pada masalah banjir dan rob yang tidak terselesaikan sampai tahun 2010, hal ini disebabkan oleh : • Pembangunan permukiman baru di daerah Semarang barat, seperti Perumahan Tanah Mas dan Semarang Indah yang mengakibatkan instruksi air laut. • Pembangunan Kawasan LIK ( Lingkungan Industri Kecil ) di daerah Kali Gawe juga berdampak negative bagi permukiman ini, karena dalam pelaksanaanya Kawasan LIK yang kondisi tanahnya berawa dilakukan pengurukan untuk mempertinggi permukaan tanah, akibatnya air hujan lari ke daerah yang lebuh rendah, yaitu di sekitar Kawasan pusat Kota Lama. • Adanya reklamasi pantai Kawasan Tanjung Mas, sehingga daratan menjorok ke laut beberapa meter. Pada dataran tersebut terdapat Kantor Distrik Navigasi Semarang, Gudang milik Kanindotex, lahan peti kemas dan sebagainya. Pada tahun 1985 Pemetrintah Daerah Tingkat I Jateng menggalakan Program normalisasi Kali Semarang. Program ini bertujuan untuk mengatasi banjir dan memperbaiki lingkungan di daerah bantaran Kali Semarang, yang dipenuhi rumah – rumah illegal, terlihat kotor, kumuh serta menyediakan ruang terbuka kota. Dalam Upaya normalisasi sungai, dibuat jalan pada sisi kiri dan kanan sepanjang Kali Semarang, dengan lebar jalan sekitar 4 meter, yang disebut dengan jalan inspeksi. Normalisasi sungai dan pembuatan jalan inspeksi, menciptakan ruang terbuka berbentuk curvilinier atau linier di sepanjang tepi sungai. Program normalisasi menyangkut keruangan meliputi pemberian ruang inspeksi pada kanan – kiri sungai, sehingga secara fisik bentuk curvilinier mengikuti bentuk alur sungai. Akibat program normalisasi sungai banyak bangunan – bangunan dan permukiman - permukiman etnik di sepanjang Kali Semarang terkena penggusuran dan pemotongan bangunan. Hal ini berpengaruh pula pada pola tatanan dan orientasi permukiman – permukiman etnik tersebut. Dalam pelaksanaan proyek normalisasi sungai, jembatan putar yang berfungsi untuk kelancaran lalu lintas kapal keruk Belanda dibongkar. Dengan alasan jembatan tersebut menghambat aliran sungai, sehingga pada waktu hujan Kawasan tersebut sering terjadi banjir. Kemudian bekas jembatan putar tersebut dibangun jembatan biasa yang menghubungkan Kampung Melayu dengan zona perdagangan di Kawasan kanal baru. Pada saat merealisasikan program normalisasi sungai tersebut, sempat terjadi kontra dari warga Kampung Melayu, karena banyak rumah – rumah di tepi sungai mengalami penggusuran dan pemotongan bangunan. Pada waktu itu dalam perencaaan program normalisai, Masjid Menara (landmark Kampung Melayu) harus digusur sampai batas gerbang masjid. Kelompok Arab Hadramaut berjuang keras untuk mempertahankan masjid tersebut. Karena bagi etnik Arab, masjid tersebut merupakan embrio pembentukan komunitas mereka yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut. Dengan alas an tersebut Pemerintah mengkaji kembali dan menyetujui untuk tidak membongkar Masjid Menara. Sampai saat ini masjid tersebut masih kokoh berdiri sebagai landmark Kampung Melayu

KAMPUNG MELAYU PADA ABAD 19 SAMPAI PERTENGAHAN ABAD 20

Permasalahan yang dihadapi tata ruang kota Semarang pada masa pemerintahan kolonial tidak lepas dari politik pemisahan etnik antara Eropa, Asia dan pribumi (inlander). Pemetaan permukiman – permukiman kota berdasarkan segregasi ini mulai berlangsung secara resmi setelah awal abad 19. Segregasi etnik dibuat oleh pemerintah kolonial sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu mencolok dalam kategori dualistic yaitu pribumi dan nonpribumi dengan memasukan etnik Cina, Arab, India, Koja, ataupun Melayu ke dalam sistem tata ruang permukiman kota. Ditinjau secara makro, Kampung Melayu sebagai salah satu kampung kuno di Semarang tidak lepas dari permasalahan di atas. Segregasi etnik kampung – kampung di Semarang tercermin dari segregasi wilayah yang semakin tajam. Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan – aturan yang mengatur ruang gerak etnik – etnik tertentu untuk mempermudah pengawasan dan pengotrolan mereka. Di beberapa tempat di Asia Tenggara, seperti Malaka, Penang dan Singapura, implementasi politik segregasi tersebut tidak seketat seperti kota – kota kolonial. Etnik Cina merupakan target utama agar pemerintah colonial dapat mengontrol dan mengekang dominasi ekonomi tersebut. Pada dasawarsa ini pola tatanan Kampung Melayu menunjukan adanya segregasi wilayah yang terbentuk secara alamiah, masyarakat permukiman ini membentuk komunitas – komunitas pada zona – zona tertentu berdasarkan kekerabatan dan identitas etnik mereka. Hal ini terlihat pada toponim nama – nama blok (gang) di Kampung Melayu. Segregasi wilayah di Kampung Melayu membentuk pola tatanan yang khas, secara visual terlihat heterogenitas dan kekomplekan social budaya masyarakatnya dan juga keanekaragaman karya arsitektur yang unik. Permukiman mengalami perubahan meskipun lamban, karena cuaca tetap berperan menentukan pengembangannya, menghalangi pembangunan rumah bertingkat dan menyebabkan terpeliharanya lingkungan hijau. Peningkatan populasi penduduk di beberapa kota di Jawa sejak tahun 1815 – 1930 menimbulkan masalah lingkungan kota yang tidak sehat, baik dalam sanitasi maupun kehidupan sosial penduduknya. Penderitaan rakyat Jawa terangkat ke permukaan pada tahun 1899 dan 1890, yaitu adanya bahaya kekurangan pangan. Urbanisasi mengalami puncaknya pada tahun 1913 hingga 1920, wabah penyakit dan sanitasi yang buruk pada bagian – bagian utama kota merupakan masalah serius bagi kota di Jawa. Menurut Singgih (tetua Kampung Melayu), pada tahun 1935 etnik pribumi di pedalaman yang berprofesi sebagai pedagang mulai berdatangan di Kampung Melayu, karena permukiman ini mempunyai akses yang menguntungkan, yaitu terletak di dekat pelabuhan dan pusat kota lama. Pesatnya urbanisasi di Kampung Melayu berdampak pada peningkatan populasi penduduk secara drastis. Akhirnya Kampung Melayu semakin padat, communal space dan lahan hijau semakin berkurang, sarana dan prasarana permukiman tidak memenuhi kebutuhan penghuninya, kelaparan dan kemiskinan mengancam mereka. Sehingga Masyarakat di Kampung Melayu mudah sekali terserang wabah penyakit dan angka kematian penduduk semakin meningkat. Hal ini juga berpengaruh pada dinamika pergerakan perekonomian dan perdagangan di Kampung Melayu, khususnya di Pasar Ngilir dan Pasar Regang. Maka timbulah anggapan bahwa kelompok Eropa lebih terjamin kebutuhan makanan dan kesehatannya, sehingga mudah terhindar dari wabah penyakit yang menyerang banyak penduduk pribumi. Perlakuan berbeda antara golongan Eropa dan golongan Pribumi terhadap bahaya penyakit dan kematian tersebut, memperlebar jurang pemisah antara dua masyarakat tersebut. Kemudian pemerintah Belanda secara gencar membuat propaganda untuk menangggulangi masalah urban melalui propaganda perbaikan kampung (kampong verbeeteing). Program perbaikan perumahan pribumi tersebut diusulkan oleh Thomas H Karsten pada Konggres Desentralisasi mengenai perencanaan kota di Bandung pada tahun 1920. Laporan Karsten mengenai masalah kota di Belanda ini mendapat dukungan banyak peserta. Didorong oleh usulan ini, pemerintah Hindia Belanda mendirikan suatu NV (perseroan terbatas) Volkshuisvesting tahun 1922. Van Mooy atas nama Perumnas Pemerintah Hidia Belanda menugaskan Karsten untuk membuat rancangan fisik perumahan pribumi di Mlaten, Semarang. Perumahan ini dibangun pada tahun 1924 dengan maksud dapat disewakan untuk kebutuhan papan pribumi yang sehat dan terjangkau. Meskipun demikian apa yang dikatakan Karsten dalam Konggres Desentralisasi Kota tahun 1920 belum terlaksana. Kondisi umum permukiman pada periode 1905 – 1920 sedemikan buruknya sehingga masuk agenda harian pemerintah colonial. Untuk membantu menyelesaikan masalah – masalah kota tersebut tahun 1905 dibentuk Lembaga perwakilan kota yaitu gemeente (semacam kota praja dan dewan penasehatnya). Di Semarang Lembaga ini lahir tahun 1907. Karsten sebagai aktivitas social politik Vereeniging van Locale Belangen, organisasi yang memperjuangkan gagasan desentralisasi pemerintah kota, buruknya lingkungan permukiman rakyat mendorongnya untuk turut mengambil bagian. Dalam artikel di Imdische Bouwkundig Tijdshrift (1922) Karseten memberikan tekanan pada masalah ekonomi, sosial, Kesehatan serta masalah pemberdayaan komunitas : “Mengenali masalah permukiman kampung kota ternyata tidak bisa dipisahkan dari pemahaman tradisi bertempat tinggal dari rakyat kebanyakan. Pendekatan rasional rumah murah seperti Negeri Belanda tidak memiliki nilai langsung di Jawa” (Karsten, 1931) Upaya perbaikan kampung di Semarang, dapat dikatakan belum memenuhi sasaran yang hendak dicapai, contohnya pemerintah Belanda telah mengupayakan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana di Kampung Melayu, dengan melakukan perbaikan sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih (air ledeng) pada titik - titik strategis, dan pembersihan aliran sungai (Kali Cilik dan Kali Semarang) secara intensif. Tetapi laju perkembangan urbanisasi di Kampung Melayu sangat pesat, sehingga pemenuhan sarana dan prasarana permukiman selalu di bawah standar kebutuhan minimal (batas ambang). Gerakan perbaikan di Kampung Melayu pada waktu itu tidak terlihat hasilnya baik secara fisik maupun non fisik, karena masyarakat pendatang pada waktu itu sudah tidak terbendung lagi.

Rabu, 08 April 2009

( I ) ELEMEN PRIMER DI KAMPUNG MELAYU SEMARANG

Menurut Hans Paul Bahrdt, elemen primer kota (kawasan) merupakan penggambaran suatu sistem kehidupan masyarakat kota. Adanya kecenderungan untuk mempolarisasi dan mengungkapkan semua permasalahan sosial yang berkaitan dengan lingkungan publik dan privat. Lingkungan publik dan privat mengembangkan adanya suatu rangkaian terpadu tanpa menghilangkan polarisasi. Sedangkan sektor – sektor kehidupan tidak dapat dikarakterisasikan untuk menghilangkan maksud dari publik dan privat pada suatu lingkungan binaan. Besarnya polarisasi, tertutupnya kemungkinan pertukaran lingkungan publik dan privat, dan besarnya pengaruh kehidupan urban dari pandangan sosiologi mempunyai pengaruh dalam upaya pengembangan karakter kota (kawasan).

Elemen primer merupakan unsur pembentuk kota (kawasan), untuk memberi gambaran tentang artefak – artefak yang ada pada kawasan tersebut. Penggabungan elemen – elemen primer dengan unsur – unsur lain, seperti daerah, lokasi dan konstruksi, konsep perencanaan dan bangunan, artefak natural dan pembentukan artefak, dapat membentuk suatu kesatuan yang utuh, yang dikenal dengan struktur fisik kota.

Struktur fisik permukiman Kampung Melayu terbentuk oleh elemen – elemen primer dan aktifitas kehidupan masyarakatnya, yaitu :
1. Pelabuhan Lama Semarang
Pelabuhan lama Semarang secara fisik terdiri dari Boom Lama (1743) dan Kanal Baru (1875). Konon Boom Lama merupakan tempat terminal kapal, yang dilengkapi dengan kantor pabean dan pasar ikan. Sedangkan Kanal Baru dilengkapi berbagai fasilitas pelabuhan, seperti kantor dagang, markas pasukan Belanda, mercusuar, jembatan putar, gudang – gudang dan beberapa rumah villa milik pegawai pelabuhan. Bangunan gudang yang terkenal di kawasan Kanal Baru adalah Gudang Tujuh Marabunta, dari letak dan bentuknya yang megah dan unik, bangunan ini terlihat bagaikan simbol batas wilayah kota, sekaligus sebagai gerbang kota Semarang pada waktu itu. Sampai saat ini (2009) jejak bangunan ini masih terlihat jika kita melewati jalan Arteri Semarang maupun dari jembatan di Kampung Melayu (dulu jembatan putar).

Mercusuar (sekarang disebut menara suar) dibangun tahun 1884 dan diresmikan oleh Raja Willem III. Mercusuar berbentuk segi sepuluh dengan alas melebar dan mengerucut ke atas. Ketinggiannya sekitar 30 meter, konstruksi mercusuar terdiri dari 10 lantai (tingkat) dan setiap tingkatnya dilengkapi dengan dua jendela. Pada fasade bangunan terlihat cincin pada setiap sudut sebagai tanda batas tingkat bangunan. Cincin ini juga berfungsi untuk mempermudah perawatan fasade bangunan. Di tengah mercusuar terdapat poros bangunan yang terbuat dari besi plat dengan ketebalan rata – rata 1 centimeter. Interior bangunannya dilengkapi dengn tangga melingkar yang dihubungkan dengan paku klem. Sampai tahun 1999 mercusuar masih berfungsi dengan baik, hanya saja lantai dasar bangunan telah terendam air, untuk mengatasinya dibuat saluran dan tanggul agar air tidak masuk ke bangunan. (Wawasan, 2 Oktober 1999, Menara Suar, Saksi Bisu Kota Semarang).

Akibat adanya normalisasi Kali Semarang, gudang – gudang dan kantor dagang di sepanjang Kanal Baru di sebelah barat mengalami penggusuran, sehingga jejak – jejaknya sudah tidak terlihat lagi.

Dulu sebelum tahun 1970-an, pada kawasan Boom Lama terdapat ritual etnis Cina di Semarang, yang dikenal Sam Poo Kecil untuk mengenang Poo Sing Tay Tee. Dikatakan Sam Poo Kecil karena arak – arakan dan upacara ritualnya tidak semegah Sam Poo Besar yang sangat berkaitan dengan Sam Poo Kong (Gedung Batu). Jalur arak – arakan Sam Poo Kecil dimulai dari Klenteng Gang Lombok Semarang (Klenteng Tay Kak Sie), menyusuri Pecinan, Jalan Bojong (jalan Pemuda), masuk ke Pasar Regang Kampung Melayu (Klenteng Kampung Melay hanya dilewati saja), dan berakhir di Boom Lama. Setelah sampai Boom Lama terjadi perayaan dan atraksi – atraksi ritual khas kebudayaan Cina.

Menurut Liem (1931), perayaan Sam Poo Kecil bermula pada tahun 1860, dimana telah diangkat seorang mayor Cina bernama Tan Cong Hoay. Pada waktu itu dilakukan lelang madat, dan pajak tersebut jatuh kembali ke tangan orang Cina. Tan Jong Hoay memegang banyak pajak, sehingga dia memperoleh banyak keuntungan. Kemudian Tan Jong Hoay memesan patung Poo Sing Tay Tee (tabib dari kaum Gouw) dari Tiongkok. Patung tersebut sangat mahal, untuk mengangkutnya diperlukan sebuah kapal khusus. Patung tersebut tiba di Semarang menurut hitungan Cina jatuh pada tanggal satu bulan Gow – gwee. Di Boom Lama diadakan upacara penyambutan oleh rombongan hwee-sio dari Tay Kak Sie, dari Boom Lama patung tersebut dibawa mengelilingi Pecinan, kemudian menuju klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Setiap tahun pada bulan tersebut diadakan upacara di Boom Lama untuk memperingati hari sampainya patung tersebut.

Minggu, 15 Februari 2009

KAMPUNG MELAYU PADA PERTENGAHAN ABAD 18 SAMPAI ABAD 19



Pada tahun 1743 pelabuhan Mangkang dipindah di Boom Lama (ngebom) oleh Belanda, kepindahan diawali oleh kapal – kapal kompeni Belanda. Perkataan Ngeboom berarti adalah tempat persinggahan kapal – kapal (boom = bahasa Belanda).

Kepindahan pelabuhan bertujuan untuk mempermudah pengangkutan barang – barang dari kapal – kapal (wakang) ke jung – jung kecil untuk dibawa ke daerah pasar dan daerah pergudangan. Boom lama dianggap jauh lebih baik, karena lebih dekat dengan pusat kota lama yang terkenal dengan perdagangannya yang ramai dan berkembang pesat baik di sepanjang Kali Semarang maupun di Pasar Pedamaran.

Boom Lama merupakan pintu gerbang kedatangan (gateway) bagi pedagang - pedagang yang memasuki Semarang. Wilayah di sekitar pintu gerbang Boom Lama dinamakan Darat, karena daerah tersebut merupakan daratan tempat dimana orang untuk pertama kalinya mendarat di Semarang. Menurut Liem Thian Joe akhirnya daerah di sekitar Boom Lama menjadi ramai terutama di dekat pelabuhan, hal ini dikarenakan ramainya aktivitas bongkar muat barang – barang dari kapal besar menuju kapal kecil (jung) dan juga banyak kaum perantau atau pedagang beristirahat di tempat tersebut. Berangsur – angsur banyak orang mulai tinggal dan menetap di kawasan tersebut, dan muncullah desa kecil yang disebut dengan Dusun Darat.

Perkembangan dan kemajuan aktivitas perdagangan mempengaruhi perkembangan daerah tersebut. Permukiman di dusun Darat semakin padat dan merembes ke arah barat dan selatan, dan akhirnya menyatu dengan dusun Ngilir yang telah berkembang sejak abad 17. Kemudian lama kelamaan Dusun Darat dan Dusun Ngilir semakin ramai dan menjadi suatu kawasan permukiman bagi kosmopolit kaum pedagang dari berbagai penjuru dan etnik, yang semakin kompleks dan dinamis. Dalam perkembangannya kedua dusun tersebut dikenal sebagai KAMPUNG MELAYU oleh masyarakat Semarang.

Pada pertengahan abad 18 etnisitas di Kampung Melayu semakin kompleks. Pada dasawarsa ini etnik Arab Hadramaut mulai berkembang, menetap dan membangun tempat ibadah. Tujuan kedatangan komunitas Arab Hadramaut (keturunan habib) ke Semarang adalah untuk berdagangan dan menyebarkan agama Islam. Permukiman Arab berada di belakang komplek ruko – ruko Pecinan di Pasar Regang (koridor Layur). Pada mulanya mereka membangun surau sekitar tahun 1800-an di daerah Ngilir, tepatnya di titik pertemuan Kali Semarang dan Kali Cilik. Kemudian tahun 1802 mereka membangun masjid menara di daerah Pasar Regang (koridor Layur). Masjid ini lebih besar dan megah daripada surau di Ngilir. Ruangan dua lantai masjid ini bisa menampung pedagang muslim yang singgah di pelabuhan Lama Semarang.

Pada periode ini pedagang – pedagang dari Cirebon banyak yang merantau dan menetap di Kampung Melayu. Komunitas ini hidup berkelompok di daerah yang dikenal dengan Cirebonan (bahasa Jawa = daerah tempat tinggal orang Cirebon). Pada kawasan ini banyak rumah – rumah kampung semi permanen dengan style Jawa dan Indis (sinkretisme rumah kampung Jawa dengan atap mansard atau hiasan kemuncak).

Menurut Wiryomartono setelah kedatangan Herman Willem Daendels ke Jawa, terjadi perubahan pola tatanan kota di Semarang. Daendels menciptakan praktek kerja paksa dan berhasil membuat jalan raya pos (de Groote Postweg) yang memungkinkan adanya jalur perhubungan darat dari timur ke barat. Disamping itu untuk merangsang kolonisasi spontan dan menghadapi kesulitan keuangan. Daendels menjual hak atas tanah kepada para pengusaha Cina maupun Timur Asing (Arab Hadramaut). Jalan raya pos dan jaringan kereta api mendorong urbanisasi, dibukanya perkebunan – perkebunan di pedalaman membuka kesempatan tersebarnya kegiatan ekonomi dan institusi pemerintah.

Fenomena tersebut berpengaruh pada pola tatanan Kampung Melayu, yaitu terjadi perubahan orientasi bangunan (ke sungai dan ke jalan darat). Permukiman semakin padat karena besarnya urbanisasi, dan berkembangnya usaha real estat, yaitu berlakunya sistem sewa tanah atau bangunan di Kampung Melayu oleh tuan – tuan tanah Arab dan Cina di wilayah tersebut.

Dari peta Semarang tahun 1825 terlihat perkembangan Pasar Regang, yaitu terlihat adanya deretan rumah – rumah permanen yang saling berhadapan membentuk koridor di Jalan Layur. Kemudian muncul gang (jalan) baru yang tegak lurus pada Kali Cilik dan paralel dengan Pasar Regang (Koridor Layur). Ditinjau secara makro, terdapat struktur jalur perhubungan yang semakin kompleks, dan berkembang villa – villa tempat peristirahatan orang Eropa di sepanjang jalan Bojong. Pada dasawarsa ini orang – orang Arab dan Cina di Kampung Melayu tidak hanya mempunyai perahu sebagai sarana transportasi, tetapi mulai membudaya penggunaan delman dan tandu dalam kehidupan mereka.

Aktivitas perdagangan di Semarang semakin maju dan ramai, dimana terlihat adanya keluar masuk barang dagangan yang setiap tahun selalu bertambah besar jumlahnya. Terutama dengan dibukanya terusan Suez (1869), yang memudahkan perdagangan dan kedatangan koloni Belanda ke Jawa dalam jumlah besar.

Akhirnya Belanda kembali memindahkan pelabuhan Semarang ke tempat yang dianggap jauh lebih baik, dengan tujuan utamanya untuk mengembangkan pelabuhan menjadi lebih besar. Maka pemerintah Belanda membuat kanal (Kleine Boom) dengan membuka salah satu cabang Kali Semarang, sehingga jalur pelabuhan menjadi lurus dan lebih baik. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa Boom Lama tidak lagi menguntungkan dan berpotensi sebagai pelabuhan, karena letaknya sangat jauh dan banyaknya belokan (tikungan) di Kali Semarang, sehingga mempersulit kelancaran lalu lintas perdagangan dan pelayaran.

Menurut Liem kanal direncanakan sejak tahun 1854, tetapi pelaksanaannya baru dilakukan pada tahun 1873 dan selesai tahun 1875. Panjang kanal 1180 meter dengan lebar kanal 23 meter. Pelabuhan baru tersebut dikenal dengan KALI BARU, atau oleh orang Cina disebut sin-kang. Di kanan kiri kanal baru dibangun sarana prasaran perdagangan dan pelabuhan, seperti kantor – kantor dagang, daerah pergudangan, markas pasukan Belanda dan jembatan putar (untuk memperlancar jalannya kereta keruk yang berfungsi untuk membersihkan aliran sungai). Secara visual deretan bangunan – bangunan kolonial tersebut mengingatkan pada rumah – rumah di negeri Belanda di sepanjang kanal (grancht)

Jumat, 13 Februari 2009

TOPONIM BLOK - BLOK PERMUKIMAN DI KAMPUNG MELAYU


Blok - blok permukiman di Kampung Melayu terjadi karena adanya proses pengelompokan sosial, berdasarkan pada kekerabatan dan identitas etnik penghuninya.

Dalam perkembangannya muncul toponim blok - blok permukiman untuk menunjukkan tempat bermukim mereka secara spesifik, dan juga menunjukkan keberadaan tempat (space)tersebut pada suatu lingkungan binaan tertentu.

Munculnya toponim (nama) blok permukiman di Kampung Melayu berdasarkan fenomena pada waktu itu. Misalnya muncul sebutan "spesifik" karena kondisi topografinya (pohon, rawa, sungai, daratan), asal - usul penduduknya (Banjar, Pecinan, Cirebonan), dan adanya peristiwa penting pada kawasan tersebut (Kampung Geni, Kampung Baru).

Pola tatanan permukiman menunjukkan adanya toponim dan pengelompokan blok permukiman, menunjukkan fenomena historis pada waktu itu, yaitu antara lain :

* Darat
Arti : tempat ( daratan ) orang pertama kali menapakan kakinya setelah melakukan pelayaran di laut
Penduduknya : perantau dan pedagang dari berbagai etnik, setelah dipindahnya pelabuhan Mangkang ke boom Lama.

* Ngilir
Arti : hilir atau tempat sungai mengalir
Penduduk : kebanyakan orang Madura dan Bugis

* Kampung Kali Cilik
Asal usul nama : di daerah tersebut terdapat sungai kecil (Kali Cilik), salah satu anak sungai Kali Semarang.
Penduduk : kebanyakan orang Melayu dan Banjar
Keterangan : dulu Kali Cilik dapat dilalui oleh perahu kecil. dan sampai dengan tahun 1955 kapal keruk (sarana untuk membersihkan sungai) masih bisa masuk Kali Cilik.

* Kampung Pencikan
Asal usul nama : Encik adalah sebutan perempuan dari Malaka
Penduduk : kebanyakan orang Melayu

* Kampung Geni
Asal usul nama : geni adalah api ( bahasa Jawa )
Penduduk : kebanyakan orang pribumi pedalaman
Keterangan : pada awalnya kawasan ini dikenal dengan sebutan "deni". Tahun 1975 daerah ini terbakar, kira - kira 200 meter persegi lahan permukiman terbakar. Sejak itu daerah ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Geni.

* Kampung Cerbonan
Arti : kota Cirebon
Penduduk : mayoritas orang perantau dari Cirebon


* Kampung Banjar
Arti : etnik Banjar (Kalimantan)
Penduduk : mayoritas orang Banjar

* Kampung Baru
Penduduk : mayoritas orang Banjar dan orang Arab
Keterangan : diperkirakan blok ini muncul belakangan, sehingga disebut dengan Kampung Baru.

* Kampung Pranakan
Asal usul kata : peranakan atau campuran
Arti : hasil dari perkawinan dua budaya yang berbeda
Penduduk : mayoritas keturunan peranakan antara Arab dengan koja dan Banjar

* Kampung Pulo Patekan
Arti : Pulau
Penduduk : mayoritas orang pribumi dari pedalaman
Keterangan : blok permukiman ini dikelilingi oleh jalan, menyerupai pulau di tengah lautan.

* Kampung Bedas
Arti : tidak diketahui secara pasti
Penduduk : Orang Arab Hadramaut
Keterangan : daerah ini termasuk kawasan Pesantren Darat

* Kampung Darat Nipah
Asal usul nama : tidak diketahui pasti
Penduduk : kebanyakan orang Cina dan Arab Hadramaut
Keterangan : kawasan ini terbagi menjadi tiga segmen (zona), yaitu Belanda (pergudangan dan kantor dagang), Cina (Pasar Regang) dan Arab (permukiman).

KLENTENG KAMPUNG MELAYU


Klenteng Kampung Melayu terletak di koridor Layur bagian barat, tepat tegak lurus dengan Kali Semarang dimana waktu itu terdapat pasar Regang. Klenteng ini memuja pada dewa bumi, bukan kepada dewa Mazu (dewanya para nelayan dan perantau Cina).

Menurut kepercayaan orang Cina, klenteng ini berfungsi untuk mengusir dan membentengi roh - roh jahat yang hendak menghalangi kelancaran usaha perdagangan di Pasar Regang, dan yang terutama adalah menjaga keselamatan dan kehidupan etnik Cina di Kampung Melayu.

Menurut Liem Thian Joe, dalam proses pembangunannya klenteng ini mengalami sedikit kendala, karena adanya pro dan kontra dari komunitas Arab Hadramaut yang tinggal berdekatan dengan komplek rumah toko (ruko) Cina.

Menurut Singgih, Klenteng ini baru dapat dibangun setelah pembangunan Masjid Menara selesai, yaitu sekitar tahun 1800-an. Penyelesaian permasalahan dilakukan dengan mengadakan pembicaraan dan kesepakatan antara pihak Arab Hadramaut dan Cina, yang disaksikan dan disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda.