Sabtu, 31 Januari 2009

PENGERTIAN KAMPUNG MELAYU

• Abdullah Salim, seorang dosen dari Universitas Sultan Agung Semarang, menyatakan bahwa Kampung Melayu berkembang sekitar awal abad 17 bersamaan dengan kedatangan orang – orang Banjar (Kalimantan), Samudra Pasai, Gujarat dan Arab Selatan untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam ke Jawa. Sebutan Kampung Melayu muncul karena penduduknya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan pemersatu.
• Soesatyo Darnawi, mengungkapkan bahwa berdasarkan peta kuno tahun 1695 di Semarang sudah ada etnik Melayu di Kampung Melayu, yang terletak di dekat pelabuhan lama Semarang. Dengan adanya penduduk Melayu dan Cina menunjukkan bahwa pada tahun 1600-an sudah ada pelabuhan di Kota Semarang.
• Menurut Jawahir Muhammad digunakan istilah Kampung Melayu (De Malaische Kampong) untuk membedakan dengan perkampungan pribumi (De Javanesse Hegarijen), Pecinan (Chinesen Kamp) dan Pekojan (Perkampungan kaum Koja : kelompok etnik keturunan Pakistan, Gujarat dan Arab).
• Carik Kapung Geni mengatakan bahwa penduduk di Kampung Melayu sejak dulu menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (liqua franca), baik dalam berinteraksi social maupun hubungan perdagangan.
• Singgih Prasetyo, selaku tetua Kampung Melayu mengemukakan bahwa asal muasal disebut Kampung Melayu karena dulu banyak tinggal orang orang Melayu (Malaka) dan Banjar (Kalimantan). Kediaman mereka kebanyakan adalah rumah panggung dengan ciri khas Melayu dan Banjar. Komunitas Melayu tinggal di daearah Kampung Pencikan, Kampung Kali Cilik dan Kampung Bedas. Rumah panggung kuno dengan style Melayu yang dibangun sekitar tahun 1800-an masih ada di Kampung Kali Cilik, kondisinya masih kokoh dan terawatt. Sedangkan komunitas Banjar tinggal di Kampung Banjar, Kampung Baru dan Kampung Geni. Rumah panggung kuno dengan style Banjar berada di Kampung Baru, dibangun sekitar tahun 1800-an. Sayangnya rumah ini telah dibongkar pada bulan Mei tahun 2000. Pada sekitar bulan Juli tahun 2008 penulis berkesempatan mengunjungi Kampung Baru. Rumah yang telah dibongkar telah berganti pemilikan menjadi milik seorang beretnik Arab dan telah dibangun rumah tinggal dengan style Arab. Hal ini terlihat dari bentuk jendela dan pintu, ornamen dan warna yang digunakan.

Jadi Kampung Melayu adalah permukiman kosmopolitan kaum pedagang yang berkembang sekitar abad 17, terletak di dekat pelabuhan lama Semarang. Penduduknya terdiri dari orang – orang Melayu (Malaka), Banjar (Kalimantan), Arab Hadramaut, Cina, Koja, Bugis, Madura, Cirebon dan sebagainya. Mereka menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan. Keunikan dan kekhasan Kampung Melayu terlihat dari pluralitas budaya dan keanekaragaman bentuk arsitektur, yaitu adanya rumah permanen, semi permanen dan rumah panggung dengan style Melayu, Banjar maupun Indis. Karakteristik tersebut membedakan Kampung Melayu dengan Kampung Pribumi, Pecinan, Kauman dan Pekojan. Maka sampai sekarang permukiman ini tetap dikenal dengan sebutan Kampung Melayu.

(Wardhani, Ansyah Girindra. (2000), Karakteristik Permukiman Kampung Melayu di Semarang : Kajian Arsitektural dengan Pendekatan Urban History, Morfologi dan Tipologi, Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

KAMPUNG MELAYU PADA ABAD 17 SAMPAI PERTENGAHAN ABAD 18


Menurut Wiryomartono (1995) setelah abad 15 permukiman mulai berkembang dalam organisasi kota di Jawa, tepatnya pada saat Islam berkembang di Jawa. Konstribusi Islam dalam pemantapan permukiman kota adalah pemantapan pasar yang permanen sebagai unsur yang penting dari pertumbuhan permukiman kota. Islam memantapkan kegiatan pasar bagi desa – desa yang semula bergilir menjadi terpusat. Pemusatan ini memungkinkan tumbuhnya urbanisasi karena intensifnya kegiatan ekonomi, hal ini nampak kuat di daerah – daerah pesisir utara Pulau Jawa.
Pernyataan di atas mendasari analisa pertumbuhan Kampung Melayu di Semarang, sebagai salah satu permukiman kuno yang berkembang sekitar abad 17, yang terletak di daerah pesisir utara Jawa, tepatnya di sebelah barat Kali Semarang.
Embrio Kampung Melayu adalah dusun Ngilir, kawasan ini terletak pada pertemuan Kali Semarang dengan Kali Cilik. Kali Semarang merupakan transportasi utama pada waktu itu, dan Kali Cilik adalah cabang dari Kali Semarang yang dapat dilalui oleh perahu – perahu kecil. Titik pertemuan kedua aliran sungai tersebut merupakan daerah strategis (growth pole), sehingga muncullah pasar tradisional yang disebut dengan Pasar Ngilir, dan kemudian berkembang Pasar Regang di dekat Pasar Ngilir. Pasar Regang adalah daerah kompleks rumah toko (ruko) Pecinan, dimana etnis Cina telah bermukim di Semarang sekitar tahun 1450. Keberadaan pasar terlihat pada peta Semarang tahun 1695, yaitu adanya garis tegak lurus pada titik pertemuan Kali Semarang dan Kali Cilik.
Menurut Liem, nama Dusun Ngilir berasal dari kata ngili (bahasa Jawa) yang artinya mengalir. Dimana pada waktu itu daerah tersebut merupakan daratan di tepi sungai. Pada dusun Ngilir tersebut bermukim orang – orang Melayu dan juga tempat bermukim bagi kebanyakan orang yang mata pencahariannya membawa penumpang yang akan berkunjung ke daerah lain di sepanjang pesisir pantai, seperti Jepara, Kendal, Demak, Pekalongan dan sebagainya dengan menggunakan perahu – perahu kecil (jungkung).
Konon di daerah kanan kiri Kai Cilik, muncul rumah – rumah panggung dengan style Melayu dan Banjar dengan pola tatanan tegak lurus aliran Kali Cilik. Di sebelah utara titik pertemuan kedua sungai tersebut berkembang permukiman etnis Madura dan Bugis yang datang melalui Kali Semarang.
Di sebelah barat Kali Semarang berkembang rumah toko (ruko) Pecinan yang dikenal dengan sebutan Pecinan Muara. Menurut Johannes Widodo, tipologi pola tatanan permukiman Pecinan di daerah pantai utara Jawa selalu ada dua kutub utama (nodes), yaitu Pecinan Muara yang berperan sebagai gateway, dan Pecinan Dalam sebagai trade settlement.
Masyarakat Kampung Melayu sudah sejak lama menganut ajaran dan norma – norma Islam dalam kehidupan mereka, terutama orang Melayu (Malaka), Banjar (Kalimantan), Arab Hadramaut, Cina, Koja, Bugis dan Madura sudah melalang buana ke berbagai penjuru dunia. Lombart mengemukakan bahwa masyarakat Islam kebanyakan berasal dari etnik Melayu, Jawa, Bugis, Tamil, Bengali, Gujarat, Cina dan unsur Arab hanya sedikit jumlahnya. Unsur pemersatu kalangan multi etnik ini adalah kedudukan bahasa Melayu sebagai liqua franca, dimana sejak abad 16 telah menjadi bahasa Islam. Kehidupan sosio kultural masyarakat Kapung Melayu membuktikan kebenaran pernyataan tersebut di atas, dimana mayoritas masyarakatnya adalaha pedagang, beragama Islam dan terbiasa menggunakan bahasa Melayu dalam berinteraksi sosial.
Menurut Kartono (1987) pada dasarnya konversi agama Islam mempermudah hubungan dunia perdagangan Internasional, yang sejak lama telah dikuasai oleh pedagang Gujarat, Bengala, Malaka dan Sumatra. Agama Islam yang tidak mengenal perbedaan asal keturunan, bangsa dan kedudukan sosial (stand) memberi pembenaran dan legitimasi kepada kedudukan para pedagang tersebut. Maka pemeluk agama Islam pertama terdapat di kalangan pedagang dan kota pelabuhan menjadi pusat kegiatan agama serta pangkal pemencarannya, seperti pasai, Tuban, Gresik, Kudus, Demak, Cirebon. Kota Pelabuhan Semarang mempunyai komunikasi intensif dengan pusat – pusat perdagangan, seperti Malaka, Pasai, Bengala, Gujarat dan Persi, kesemuanya juga merupakan pusat agama Islam pada abad 15.

(Wardhani, Ansyah Girindra. (2000), Karakteristik Permukiman Kampung Melayu di Semarang : Kajian Arsitektural dengan Pendekatan Urban History, Morfologi dan Tipologi, Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)