tag:blogger.com,1999:blog-44931750579517627512024-02-07T05:52:59.576-08:00Kampung Melayu SemarangSalah satu kampung tua di Semarang, yang memiliki karakteristik sebagai kampung multi etnik. Mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian sebagai pedagang dan beragama IslamAnsyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.comBlogger16125tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-66893250761466927332023-11-08T03:55:00.000-08:002023-11-08T03:55:04.967-08:00HILANGNYA IDENTITAS KAMPUNG MELAYU SEJAK PERTENGAHAN ABAD 20 Menurut Singgih, sekitar tahun 1970-an aktivitas perdagangan antar pulau mengalami kemunduran, karena adanya penguasaan perdagangan antar pulau oleh etnik Cina. Aktivitas perdagangan dan pelayaran di pelabuhan lama Semarang mulai terlihat surut. Hal ini terjadi karena pengaruh proses sedimentasi ke arah utara, instruksi air laut, proses pendangkalan dan penyempitan volume kanal baru, sehingga kapal dan jung tidak dapat berlabuh di Kawasan ini. Fenomena tersebut memberi dampak yang cukup besar pada kemajuan aktivitas perdagangan di Kampung Melayu.
Pada dasawarsa ini terjadi perkembangan permukiman baru yang sangat pesat di daerah hinterland kota Semarang . Eksistensi permukiman Kampung Melayu semakin terdesak oleh perkembangan permukiman baru di wilayah Semarang barat terutama dengan adanya pembangunan Perumahan Tanah Mas dan Semarang Indah, yang hanya mementingkan kebutuhan Kawasan (site) tersebut tanpa memperhatikan lingkungan di sikitarnya. Sejak itu Kampung Melayu mulai terjebak pada lingkaran permasalahan yang tiada akhir sampai sekarang, terrutama masalah banjir, rob dan menurunnnya kualitas lingkungan permukiman tersebut.
Identitas Kampung Melayu pada saat ini lebih dikenal sebagai Kawasan mati, kumuh, daerah rawan banjir, rob dan juga rawan kriminalitas. Akibatnya kawasan tersebut mulai ditinggalkan oleh penghuninya ke daerah yang lebih baik. Ironisnya bangunan – bangunan kuno yang mulai aus dipergunakan sebagai tempat budidaya walet. Keterkaitan dan besarnya rasa memiliki masyarakat terhadap permukiman (place) semakin luntur, sehingga tidak lagi terlihat adanya keserasian hubungan antara manusia dan lingkungan permukiman tersebut.
Karakter dan identitas Kampung Melayu yang mengakar pada nilai – nilai historis dan pengungkapan makna mulai sirna, elemen – elemen primer dan image Kawasan tidak mampu lagi mengkomunikasikan makna dan nilai yang ada. Hal ini terjadi karena hilangnya spirit of place beriringan dengan turunnya kualitas lingkungan di Kampung Melayu.
Dalam perkembangannya Kampung Melayu mengalami transformasi fungsi dan bentuk bangunan, mengubah pola tatanan permukiman dan social budaya masyarakatnya.
A. Transformasi Fungsi Bangunan
Place merupakan wujud dari kumpulan ruang memmpunyai makna kontektual dan nilai – nilai budaya. Fumiko Maki, berpendapat bahwa kota ( kawasan) merupakan kronologi historis sebagao perwujudan ruang dan bentuk kolektif. Maka dalam penataan Kawasan perlu dikaji aspek aristektural dan sosio kultural Kawasan tersebut yang dikaitkan dengan urban history.
Place adalah tempat yang memiliki karakter yang jelas, kronologi perkembangan tempat tersebut dapat menjelaskan genius loci dan spirit of place. Untuk menghindari ketunggalrupaan pada suatu lingkungan binaan, perlu adanya Upaya mempertahankan identitas dan sense of place. Place dalam suatu lingkungan bukan hanya berbeda, tetapi mempunyai identitas perseptual yang jelas yaitu: recognizable, memorable, vivid.
Setiap tempat pada lingkungan yang luas tidak dapat dibedakan dengan yang lain secara radikal, pusat – pusat penting yang mempunyai makna akan memiliki keunikan tersendiri. Kualitas dari identitas (sense of place) merupakan titik temu dari lingkungan yang unik dan bermakna. Identitas dapat diuji dengan mengidentifikasi di lapangan dan keberadaannya dapat diprediksikan dalam proposal perencanaan.
Saat ini banyak bangunan rumah tinggal di Kampung Melayu mengalami perubahan fungsi bangunan menjadi tempat budidaya sarang burung walet. Fenomena transformasi fungsi bangunan banyak terjadi di daerah Pasar Regang (Koridor Layur). Bahkan sekarang mulai merembes ke blok – blok permukiman di sebelah barat Pasar Regang, misalnya di Kampung Banjar dan Kampung Bedas.
Menurut Muchsin Alatas, beberapa bangunan kuno di sepanjang koridor Layur yang ditinggalkan oleh penghuninya diwakafkan untuk perawatan masjid Menara, sekitar 27 rumah yang diwakafkan. Sayangnya belum ada koordinasi dan arah pemikiran perawatan dan pemanfaatan bangunan secara ortimal dan terpadu. Sehingga bangunan – bangunan tersebut hanya berdiri kokoh, tidak mencerminkan makna dan nilai budaya tertentu. Pada malam hari daerah – daerah tersebut terlihat mati, menakutkan dan tidak memiliki spirit of place, imageability dan legibility.
Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-14655406131536490422023-11-08T03:48:00.003-08:002023-11-08T03:48:57.682-08:00KAMPUNG MELAYU PADA PERTENGAHAN ABAD 20 SAMPAI TAHUN 2010Singgih Prasetyo, seorang tetua di Kampung Melayu, mengemukakan setelah pendudukan Jepang di Jawa, perdagangan antar pulau berhenti dan mati. Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan perdagangan Cina dan Arab berkembang Kembali, sedangkan pada tahun 1950 berkembang perdagangan antar pulau oleh orang – orang Banjar.
Setelah kelura PP no. 10 tahun 1963 yang berisi : Cina tidak diperbolehkan berada di daerah kecamatan, melainkan harus berada di daerah tingkat II, banyak orang – orang Cina Kembali ke Tiongkok, sehingga perdagangan antar pulau Jawa – Kalimantan, yang diwakili oleh orang Banjar semakin berkembang, sedangkan pasaran pedagang Arab hanya dalam skala lokal.
Kemudian tahun 1965 Perdagangan Banjar, Arab dan Cina berkembang dengan seimbang. Setelah Orde Baru perdagangan antar pulau Kembali macet, karena adanya penguasaan perdagangan oleh etnik Cina. Pasang surut perkembangan perdagangan di Kampung Melayu sejalan dengan kronologi perkembangan aktivitas perdagangan di Semarang, karena keduanya membentu link yang saling mengikat dan mempengaruhi.
Pada saat pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa di Semarang, kedalaman dan kebersihan Kali Semarang selalu dikontrol. Di kanal baru terdapat jembatan putar untuk keperluan dan kemudahan lalu lintas kapal keruk Belanda, untuk membersihkan dan memdalam sungai. Sampai tahun 1955 kapal keruk masih bisa masuk sampai Kali Cilik.
Sejak tahun 1970-an Kampung Melayu mulai terjebak pada masalah banjir dan rob yang tidak terselesaikan sampai tahun 2010, hal ini disebabkan oleh :
• Pembangunan permukiman baru di daerah Semarang barat, seperti Perumahan Tanah Mas dan Semarang Indah yang mengakibatkan instruksi air laut.
• Pembangunan Kawasan LIK ( Lingkungan Industri Kecil ) di daerah Kali Gawe juga berdampak negative bagi permukiman ini, karena dalam pelaksanaanya Kawasan LIK yang kondisi tanahnya berawa dilakukan pengurukan untuk mempertinggi permukaan tanah, akibatnya air hujan lari ke daerah yang lebuh rendah, yaitu di sekitar Kawasan pusat Kota Lama.
• Adanya reklamasi pantai Kawasan Tanjung Mas, sehingga daratan menjorok ke laut beberapa meter. Pada dataran tersebut terdapat Kantor Distrik Navigasi Semarang, Gudang milik Kanindotex, lahan peti kemas dan sebagainya.
Pada tahun 1985 Pemetrintah Daerah Tingkat I Jateng menggalakan Program normalisasi Kali Semarang. Program ini bertujuan untuk mengatasi banjir dan memperbaiki lingkungan di daerah bantaran Kali Semarang, yang dipenuhi rumah – rumah illegal, terlihat kotor, kumuh serta menyediakan ruang terbuka kota.
Dalam Upaya normalisasi sungai, dibuat jalan pada sisi kiri dan kanan sepanjang Kali Semarang, dengan lebar jalan sekitar 4 meter, yang disebut dengan jalan inspeksi. Normalisasi sungai dan pembuatan jalan inspeksi, menciptakan ruang terbuka berbentuk curvilinier atau linier di sepanjang tepi sungai. Program normalisasi menyangkut keruangan meliputi pemberian ruang inspeksi pada kanan – kiri sungai, sehingga secara fisik bentuk curvilinier mengikuti bentuk alur sungai. Akibat program normalisasi sungai banyak bangunan – bangunan dan permukiman - permukiman etnik di sepanjang Kali Semarang terkena penggusuran dan pemotongan bangunan. Hal ini berpengaruh pula pada pola tatanan dan orientasi permukiman – permukiman etnik tersebut.
Dalam pelaksanaan proyek normalisasi sungai, jembatan putar yang berfungsi untuk kelancaran lalu lintas kapal keruk Belanda dibongkar. Dengan alasan jembatan tersebut menghambat aliran sungai, sehingga pada waktu hujan Kawasan tersebut sering terjadi banjir. Kemudian bekas jembatan putar tersebut dibangun jembatan biasa yang menghubungkan Kampung Melayu dengan zona perdagangan di Kawasan kanal baru.
Pada saat merealisasikan program normalisasi sungai tersebut, sempat terjadi kontra dari warga Kampung Melayu, karena banyak rumah – rumah di tepi sungai mengalami penggusuran dan pemotongan bangunan. Pada waktu itu dalam perencaaan program normalisai, Masjid Menara (landmark Kampung Melayu) harus digusur sampai batas gerbang masjid. Kelompok Arab Hadramaut berjuang keras untuk mempertahankan masjid tersebut. Karena bagi etnik Arab, masjid tersebut merupakan embrio pembentukan komunitas mereka yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut. Dengan alas an tersebut Pemerintah mengkaji kembali dan menyetujui untuk tidak membongkar Masjid Menara. Sampai saat ini masjid tersebut masih kokoh berdiri sebagai landmark Kampung Melayu
Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-70046290334473798212023-11-08T03:37:00.002-08:002023-11-08T03:37:50.149-08:00KAMPUNG MELAYU PADA ABAD 19 SAMPAI PERTENGAHAN ABAD 20Permasalahan yang dihadapi tata ruang kota Semarang pada masa pemerintahan kolonial tidak lepas dari politik pemisahan etnik antara Eropa, Asia dan pribumi (inlander). Pemetaan permukiman – permukiman kota berdasarkan segregasi ini mulai berlangsung secara resmi setelah awal abad 19. Segregasi etnik dibuat oleh pemerintah kolonial sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu mencolok dalam kategori dualistic yaitu pribumi dan nonpribumi dengan memasukan etnik Cina, Arab, India, Koja, ataupun Melayu ke dalam sistem tata ruang permukiman kota.
Ditinjau secara makro, Kampung Melayu sebagai salah satu kampung kuno di Semarang tidak lepas dari permasalahan di atas. Segregasi etnik kampung – kampung di Semarang tercermin dari segregasi wilayah yang semakin tajam. Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan – aturan yang mengatur ruang gerak etnik – etnik tertentu untuk mempermudah pengawasan dan pengotrolan mereka. Di beberapa tempat di Asia Tenggara, seperti Malaka, Penang dan Singapura, implementasi politik segregasi tersebut tidak seketat seperti kota – kota kolonial. Etnik Cina merupakan target utama agar pemerintah colonial dapat mengontrol dan mengekang dominasi ekonomi tersebut.
Pada dasawarsa ini pola tatanan Kampung Melayu menunjukan adanya segregasi wilayah yang terbentuk secara alamiah, masyarakat permukiman ini membentuk komunitas – komunitas pada zona – zona tertentu berdasarkan kekerabatan dan identitas etnik mereka. Hal ini terlihat pada toponim nama – nama blok (gang) di Kampung Melayu. Segregasi wilayah di Kampung Melayu membentuk pola tatanan yang khas, secara visual terlihat heterogenitas dan kekomplekan social budaya masyarakatnya dan juga keanekaragaman karya arsitektur yang unik.
Permukiman mengalami perubahan meskipun lamban, karena cuaca tetap berperan menentukan pengembangannya, menghalangi pembangunan rumah bertingkat dan menyebabkan terpeliharanya lingkungan hijau. Peningkatan populasi penduduk di beberapa kota di Jawa sejak tahun 1815 – 1930 menimbulkan masalah lingkungan kota yang tidak sehat, baik dalam sanitasi maupun kehidupan sosial penduduknya. Penderitaan rakyat Jawa terangkat ke permukaan pada tahun 1899 dan 1890, yaitu adanya bahaya kekurangan pangan. Urbanisasi mengalami puncaknya pada tahun 1913 hingga 1920, wabah penyakit dan sanitasi yang buruk pada bagian – bagian utama kota merupakan masalah serius bagi kota di Jawa.
Menurut Singgih (tetua Kampung Melayu), pada tahun 1935 etnik pribumi di pedalaman yang berprofesi sebagai pedagang mulai berdatangan di Kampung Melayu, karena permukiman ini mempunyai akses yang menguntungkan, yaitu terletak di dekat pelabuhan dan pusat kota lama. Pesatnya urbanisasi di Kampung Melayu berdampak pada peningkatan populasi penduduk secara drastis. Akhirnya Kampung Melayu semakin padat, communal space dan lahan hijau semakin berkurang, sarana dan prasarana permukiman tidak memenuhi kebutuhan penghuninya, kelaparan dan kemiskinan mengancam mereka. Sehingga Masyarakat di Kampung Melayu mudah sekali terserang wabah penyakit dan angka kematian penduduk semakin meningkat. Hal ini juga berpengaruh pada dinamika pergerakan perekonomian dan perdagangan di Kampung Melayu, khususnya di Pasar Ngilir dan Pasar Regang. Maka timbulah anggapan bahwa kelompok Eropa lebih terjamin kebutuhan makanan dan kesehatannya, sehingga mudah terhindar dari wabah penyakit yang menyerang banyak penduduk pribumi. Perlakuan berbeda antara golongan Eropa dan golongan Pribumi terhadap bahaya penyakit dan kematian tersebut, memperlebar jurang pemisah antara dua masyarakat tersebut.
Kemudian pemerintah Belanda secara gencar membuat propaganda untuk menangggulangi masalah urban melalui propaganda perbaikan kampung (kampong verbeeteing). Program perbaikan perumahan pribumi tersebut diusulkan oleh Thomas H Karsten pada Konggres Desentralisasi mengenai perencanaan kota di Bandung pada tahun 1920. Laporan Karsten mengenai masalah kota di Belanda ini mendapat dukungan banyak peserta. Didorong oleh usulan ini, pemerintah Hindia Belanda mendirikan suatu NV (perseroan terbatas) Volkshuisvesting tahun 1922. Van Mooy atas nama Perumnas Pemerintah Hidia Belanda menugaskan Karsten untuk membuat rancangan fisik perumahan pribumi di Mlaten, Semarang. Perumahan ini dibangun pada tahun 1924 dengan maksud dapat disewakan untuk kebutuhan papan pribumi yang sehat dan terjangkau. Meskipun demikian apa yang dikatakan Karsten dalam Konggres Desentralisasi Kota tahun 1920 belum terlaksana.
Kondisi umum permukiman pada periode 1905 – 1920 sedemikan buruknya sehingga masuk agenda harian pemerintah colonial. Untuk membantu menyelesaikan masalah – masalah kota tersebut tahun 1905 dibentuk Lembaga perwakilan kota yaitu gemeente (semacam kota praja dan dewan penasehatnya). Di Semarang Lembaga ini lahir tahun 1907. Karsten sebagai aktivitas social politik Vereeniging van Locale Belangen, organisasi yang memperjuangkan gagasan desentralisasi pemerintah kota, buruknya lingkungan permukiman rakyat mendorongnya untuk turut mengambil bagian. Dalam artikel di Imdische Bouwkundig Tijdshrift (1922) Karseten memberikan tekanan pada masalah ekonomi, sosial, Kesehatan serta masalah pemberdayaan komunitas :
“Mengenali masalah permukiman kampung kota ternyata tidak bisa dipisahkan dari pemahaman tradisi bertempat tinggal dari rakyat kebanyakan. Pendekatan rasional rumah murah seperti Negeri Belanda tidak memiliki nilai langsung di Jawa” (Karsten, 1931)
Upaya perbaikan kampung di Semarang, dapat dikatakan belum memenuhi sasaran yang hendak dicapai, contohnya pemerintah Belanda telah mengupayakan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana di Kampung Melayu, dengan melakukan perbaikan sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih (air ledeng) pada titik - titik strategis, dan pembersihan aliran sungai (Kali Cilik dan Kali Semarang) secara intensif. Tetapi laju perkembangan urbanisasi di Kampung Melayu sangat pesat, sehingga pemenuhan sarana dan prasarana permukiman selalu di bawah standar kebutuhan minimal (batas ambang). Gerakan perbaikan di Kampung Melayu pada waktu itu tidak terlihat hasilnya baik secara fisik maupun non fisik, karena masyarakat pendatang pada waktu itu sudah tidak terbendung lagi.
Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-4381383706830490712009-04-08T03:02:00.000-07:002009-04-08T03:07:09.166-07:00( I ) ELEMEN PRIMER DI KAMPUNG MELAYU SEMARANGMenurut Hans Paul Bahrdt, elemen primer kota (kawasan) merupakan penggambaran suatu sistem kehidupan masyarakat kota. Adanya kecenderungan untuk mempolarisasi dan mengungkapkan semua permasalahan sosial yang berkaitan dengan lingkungan publik dan privat. Lingkungan publik dan privat mengembangkan adanya suatu rangkaian terpadu tanpa menghilangkan polarisasi. Sedangkan sektor – sektor kehidupan tidak dapat dikarakterisasikan untuk menghilangkan maksud dari publik dan privat pada suatu lingkungan binaan. Besarnya polarisasi, tertutupnya kemungkinan pertukaran lingkungan publik dan privat, dan besarnya pengaruh kehidupan urban dari pandangan sosiologi mempunyai pengaruh dalam upaya pengembangan karakter kota (kawasan).<br /><br />Elemen primer merupakan unsur pembentuk kota (kawasan), untuk memberi gambaran tentang artefak – artefak yang ada pada kawasan tersebut. Penggabungan elemen – elemen primer dengan unsur – unsur lain, seperti daerah, lokasi dan konstruksi, konsep perencanaan dan bangunan, artefak natural dan pembentukan artefak, dapat membentuk suatu kesatuan yang utuh, yang dikenal dengan struktur fisik kota. <br /><br />Struktur fisik permukiman Kampung Melayu terbentuk oleh elemen – elemen primer dan aktifitas kehidupan masyarakatnya, yaitu :<br /><span style="font-weight:bold;">1. Pelabuhan Lama Semarang</span><br />Pelabuhan lama Semarang secara fisik terdiri dari <span style="font-weight:bold;">Boom Lama (1743) dan Kanal Baru (1875)</span>. Konon Boom Lama merupakan tempat terminal kapal, yang dilengkapi dengan kantor pabean dan pasar ikan. Sedangkan Kanal Baru dilengkapi berbagai fasilitas pelabuhan, seperti kantor dagang, markas pasukan Belanda, mercusuar, jembatan putar, gudang – gudang dan beberapa rumah villa milik pegawai pelabuhan. Bangunan gudang yang terkenal di kawasan Kanal Baru adalah Gudang Tujuh Marabunta, dari letak dan bentuknya yang megah dan unik, bangunan ini terlihat bagaikan simbol batas wilayah kota, sekaligus sebagai gerbang kota Semarang pada waktu itu. Sampai saat ini (2009) jejak bangunan ini masih terlihat jika kita melewati jalan Arteri Semarang maupun dari jembatan di Kampung Melayu (dulu jembatan putar).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Mercusuar </span>(sekarang disebut menara suar) dibangun tahun 1884 dan diresmikan oleh Raja Willem III. Mercusuar berbentuk segi sepuluh dengan alas melebar dan mengerucut ke atas. Ketinggiannya sekitar 30 meter, konstruksi mercusuar terdiri dari 10 lantai (tingkat) dan setiap tingkatnya dilengkapi dengan dua jendela. Pada fasade bangunan terlihat cincin pada setiap sudut sebagai tanda batas tingkat bangunan. Cincin ini juga berfungsi untuk mempermudah perawatan fasade bangunan. Di tengah mercusuar terdapat poros bangunan yang terbuat dari besi plat dengan ketebalan rata – rata 1 centimeter. Interior bangunannya dilengkapi dengn tangga melingkar yang dihubungkan dengan paku klem. Sampai tahun 1999 mercusuar masih berfungsi dengan baik, hanya saja lantai dasar bangunan telah terendam air, untuk mengatasinya dibuat saluran dan tanggul agar air tidak masuk ke bangunan. (Wawasan, 2 Oktober 1999, Menara Suar, Saksi Bisu Kota Semarang).<br /><br />Akibat adanya normalisasi Kali Semarang, gudang – gudang dan kantor dagang di sepanjang Kanal Baru di sebelah barat mengalami penggusuran, sehingga jejak – jejaknya sudah tidak terlihat lagi.<br /><br />Dulu sebelum tahun 1970-an, pada kawasan Boom Lama terdapat ritual etnis Cina di Semarang, yang dikenal <span style="font-weight:bold;">Sam Poo Kecil</span> untuk mengenang Poo Sing Tay Tee. Dikatakan Sam Poo Kecil karena arak – arakan dan upacara ritualnya tidak semegah Sam Poo Besar yang sangat berkaitan dengan Sam Poo Kong (Gedung Batu). Jalur arak – arakan Sam Poo Kecil dimulai dari Klenteng Gang Lombok Semarang (Klenteng Tay Kak Sie), menyusuri Pecinan, Jalan Bojong (jalan Pemuda), masuk ke Pasar Regang Kampung Melayu (Klenteng Kampung Melay hanya dilewati saja), dan berakhir di Boom Lama. Setelah sampai Boom Lama terjadi perayaan dan atraksi – atraksi ritual khas kebudayaan Cina.<br /><br />Menurut Liem (1931), <span style="font-weight:bold;">perayaan Sam Poo Kecil bermula pada tahun 1860</span>, dimana telah diangkat seorang mayor Cina bernama Tan Cong Hoay. Pada waktu itu dilakukan lelang madat, dan pajak tersebut jatuh kembali ke tangan orang Cina. Tan Jong Hoay memegang banyak pajak, sehingga dia memperoleh banyak keuntungan. Kemudian Tan Jong Hoay memesan patung Poo Sing Tay Tee (tabib dari kaum Gouw) dari Tiongkok. Patung tersebut sangat mahal, untuk mengangkutnya diperlukan sebuah kapal khusus. Patung tersebut tiba di Semarang menurut hitungan Cina jatuh pada tanggal satu bulan Gow – gwee. Di Boom Lama diadakan upacara penyambutan oleh rombongan hwee-sio dari Tay Kak Sie, dari Boom Lama patung tersebut dibawa mengelilingi Pecinan, kemudian menuju klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Setiap tahun pada bulan tersebut diadakan upacara di Boom Lama untuk memperingati hari sampainya patung tersebut.Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-17554286939409441152009-02-15T06:56:00.000-08:002009-02-15T07:47:48.042-08:00KAMPUNG MELAYU PADA PERTENGAHAN ABAD 18 SAMPAI ABAD 19<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiU54Ld4Zd_v3n4Ke25zj5F3XsJnR2hyarPtaT2955PnNt1hPg-PpNz3R2nC3zsfRzGChqZaTBblJNH5sW1rD_Zljm5m6zeR_kaBWXgG55v_Reo71DcYLQreb9Fz3N7BqC4lCsbM9d9BoUK/s1600-h/Koridor+Layur.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 305px; height: 199px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiU54Ld4Zd_v3n4Ke25zj5F3XsJnR2hyarPtaT2955PnNt1hPg-PpNz3R2nC3zsfRzGChqZaTBblJNH5sW1rD_Zljm5m6zeR_kaBWXgG55v_Reo71DcYLQreb9Fz3N7BqC4lCsbM9d9BoUK/s320/Koridor+Layur.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5303046309512923506" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwdU6tRZbuWPEx0vn-l81JjHE_COHm-c6IiaflQ8E6cT3eufMDzIm9BYYPh1ITk0tRUY5Bb9cv_IZ0PecwlC3yWlgQBu366uBhEqaVrThgX3UNfScEqDNkYY6C933ka5ja854vURQ3j3t0/s1600-h/Kali+semarang.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 293px; height: 158px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwdU6tRZbuWPEx0vn-l81JjHE_COHm-c6IiaflQ8E6cT3eufMDzIm9BYYPh1ITk0tRUY5Bb9cv_IZ0PecwlC3yWlgQBu366uBhEqaVrThgX3UNfScEqDNkYY6C933ka5ja854vURQ3j3t0/s320/Kali+semarang.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5303046306171034450" /></a><br />Pada tahun 1743 pelabuhan Mangkang dipindah di Boom Lama (<span style="font-style:italic;">ngebom</span>) oleh Belanda, kepindahan diawali oleh kapal – kapal kompeni Belanda. Perkataan <span style="font-style:italic;">Ngeboom</span> berarti adalah tempat persinggahan kapal – kapal (<span style="font-style:italic;">boom </span>= bahasa Belanda).<br /><br />Kepindahan pelabuhan bertujuan untuk mempermudah pengangkutan barang – barang dari kapal – kapal (<span style="font-style:italic;">wakang</span>) ke <span style="font-style:italic;">jung – jung</span> kecil untuk dibawa ke daerah pasar dan daerah pergudangan. Boom lama dianggap jauh lebih baik, karena lebih dekat dengan pusat kota lama yang terkenal dengan perdagangannya yang ramai dan berkembang pesat baik di sepanjang Kali Semarang maupun di Pasar Pedamaran.<br /><br />Boom Lama merupakan pintu gerbang kedatangan (<span style="font-style:italic;">gateway</span>) bagi pedagang - pedagang yang memasuki Semarang. Wilayah di sekitar pintu gerbang Boom Lama dinamakan Darat, karena daerah tersebut merupakan daratan tempat dimana orang untuk pertama kalinya mendarat di Semarang. Menurut Liem Thian Joe akhirnya daerah di sekitar Boom Lama menjadi ramai terutama di dekat pelabuhan, hal ini dikarenakan ramainya aktivitas bongkar muat barang – barang dari kapal besar menuju kapal kecil (<span style="font-style:italic;">jung</span>) dan juga banyak kaum perantau atau pedagang beristirahat di tempat tersebut. Berangsur – angsur banyak orang mulai tinggal dan menetap di kawasan tersebut, dan muncullah desa kecil yang disebut dengan <span style="font-weight:bold;">Dusun Darat</span>.<br /><br />Perkembangan dan kemajuan aktivitas perdagangan mempengaruhi perkembangan daerah tersebut. Permukiman di dusun Darat semakin padat dan merembes ke arah barat dan selatan, dan akhirnya menyatu dengan dusun Ngilir yang telah berkembang sejak abad 17. Kemudian lama kelamaan Dusun Darat dan Dusun Ngilir semakin ramai dan menjadi suatu kawasan permukiman bagi kosmopolit kaum pedagang dari berbagai penjuru dan etnik, yang semakin kompleks dan dinamis. Dalam perkembangannya kedua dusun tersebut dikenal sebagai <span style="font-weight:bold;">KAMPUNG MELAYU</span> oleh masyarakat Semarang.<br /><br />Pada pertengahan abad 18 etnisitas di Kampung Melayu semakin kompleks. Pada dasawarsa ini etnik Arab Hadramaut mulai berkembang, menetap dan membangun tempat ibadah. Tujuan kedatangan komunitas Arab Hadramaut (keturunan habib) ke Semarang adalah untuk berdagangan dan menyebarkan agama Islam. Permukiman Arab berada di belakang komplek ruko – ruko Pecinan di Pasar Regang (koridor Layur). Pada mulanya mereka membangun surau sekitar tahun 1800-an di daerah Ngilir, tepatnya di titik pertemuan Kali Semarang dan Kali Cilik. Kemudian tahun 1802 mereka membangun masjid menara di daerah Pasar Regang (koridor Layur). Masjid ini lebih besar dan megah daripada surau di Ngilir. Ruangan dua lantai masjid ini bisa menampung pedagang muslim yang singgah di pelabuhan Lama Semarang.<br /><br />Pada periode ini pedagang – pedagang dari Cirebon banyak yang merantau dan menetap di Kampung Melayu. Komunitas ini hidup berkelompok di daerah yang dikenal dengan Cirebonan (bahasa Jawa = daerah tempat tinggal orang Cirebon). Pada kawasan ini banyak rumah – rumah kampung semi permanen dengan style Jawa dan Indis (sinkretisme rumah kampung Jawa dengan atap mansard atau hiasan kemuncak).<br /><br />Menurut Wiryomartono setelah kedatangan Herman Willem Daendels ke Jawa, terjadi perubahan pola tatanan kota di Semarang. Daendels menciptakan praktek kerja paksa dan berhasil membuat jalan raya pos (<span style="font-style:italic;">de Groote Postweg</span>) yang memungkinkan adanya jalur perhubungan darat dari timur ke barat. Disamping itu untuk merangsang kolonisasi spontan dan menghadapi kesulitan keuangan. Daendels menjual hak atas tanah kepada para pengusaha Cina maupun Timur Asing (Arab Hadramaut). Jalan raya pos dan jaringan kereta api mendorong urbanisasi, dibukanya perkebunan – perkebunan di pedalaman membuka kesempatan tersebarnya kegiatan ekonomi dan institusi pemerintah. <br /><br />Fenomena tersebut berpengaruh pada pola tatanan Kampung Melayu, yaitu terjadi perubahan orientasi bangunan (ke sungai dan ke jalan darat). Permukiman semakin padat karena besarnya urbanisasi, dan berkembangnya usaha real estat, yaitu berlakunya sistem sewa tanah atau bangunan di Kampung Melayu oleh tuan – tuan tanah Arab dan Cina di wilayah tersebut.<br /><br />Dari peta Semarang tahun 1825 terlihat perkembangan Pasar Regang, yaitu terlihat adanya deretan rumah – rumah permanen yang saling berhadapan membentuk koridor di Jalan Layur. Kemudian muncul gang (jalan) baru yang tegak lurus pada Kali Cilik dan paralel dengan Pasar Regang (Koridor Layur). Ditinjau secara makro, terdapat struktur jalur perhubungan yang semakin kompleks, dan berkembang villa – villa tempat peristirahatan orang Eropa di sepanjang jalan Bojong. Pada dasawarsa ini orang – orang Arab dan Cina di Kampung Melayu tidak hanya mempunyai perahu sebagai sarana transportasi, tetapi mulai membudaya penggunaan delman dan tandu dalam kehidupan mereka.<br /><br />Aktivitas perdagangan di Semarang semakin maju dan ramai, dimana terlihat adanya keluar masuk barang dagangan yang setiap tahun selalu bertambah besar jumlahnya. Terutama dengan dibukanya terusan Suez (1869), yang memudahkan perdagangan dan kedatangan koloni Belanda ke Jawa dalam jumlah besar.<br /><br />Akhirnya Belanda kembali memindahkan pelabuhan Semarang ke tempat yang dianggap jauh lebih baik, dengan tujuan utamanya untuk mengembangkan pelabuhan menjadi lebih besar. Maka pemerintah Belanda membuat kanal (<span style="font-style:italic;">Kleine Boom</span>) dengan membuka salah satu cabang Kali Semarang, sehingga jalur pelabuhan menjadi lurus dan lebih baik. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa Boom Lama tidak lagi menguntungkan dan berpotensi sebagai pelabuhan, karena letaknya sangat jauh dan banyaknya belokan (tikungan) di Kali Semarang, sehingga mempersulit kelancaran lalu lintas perdagangan dan pelayaran.<br /><br />Menurut Liem kanal direncanakan sejak tahun 1854, tetapi pelaksanaannya baru dilakukan pada tahun 1873 dan selesai tahun 1875. Panjang kanal 1180 meter dengan lebar kanal 23 meter. Pelabuhan baru tersebut dikenal dengan <span style="font-weight:bold;">KALI BARU</span>, atau oleh orang Cina disebut <span style="font-style:italic;">sin-kang</span>. Di kanan kiri kanal baru dibangun sarana prasaran perdagangan dan pelabuhan, seperti kantor – kantor dagang, daerah pergudangan, markas pasukan Belanda dan jembatan putar (untuk memperlancar jalannya kereta keruk yang berfungsi untuk membersihkan aliran sungai). Secara visual deretan bangunan – bangunan kolonial tersebut mengingatkan pada rumah – rumah di negeri Belanda di sepanjang kanal (<span style="font-style:italic;">grancht</span>)Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-11115395188946304382009-02-13T05:14:00.000-08:002009-02-13T05:48:34.699-08:00TOPONIM BLOK - BLOK PERMUKIMAN DI KAMPUNG MELAYU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisYquBUZS0XmDjs3G9AOn7M6axpocpOxbtmLj6i8iH4kOrA7LxTRCf_Kd5QSzSj-vhU7uJL0BHv8UumK0Pd1H1s-zW7vnDm33iAS4vtaoc7Yyt6Oco7itmI2XiEgl9vCqW85liOmcHr6YM/s1600-h/Toponim+Blok+Permk.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 322px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisYquBUZS0XmDjs3G9AOn7M6axpocpOxbtmLj6i8iH4kOrA7LxTRCf_Kd5QSzSj-vhU7uJL0BHv8UumK0Pd1H1s-zW7vnDm33iAS4vtaoc7Yyt6Oco7itmI2XiEgl9vCqW85liOmcHr6YM/s400/Toponim+Blok+Permk.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5302278304172799410" /></a><br />Blok - blok permukiman di Kampung Melayu terjadi karena adanya proses pengelompokan sosial, berdasarkan pada kekerabatan dan identitas etnik penghuninya.<br /><br />Dalam perkembangannya muncul toponim blok - blok permukiman untuk menunjukkan tempat bermukim mereka secara spesifik, dan juga menunjukkan keberadaan tempat <span style="font-style:italic;">(space)</span>tersebut pada suatu lingkungan binaan tertentu.<br /><br />Munculnya toponim (nama) blok permukiman di Kampung Melayu berdasarkan fenomena pada waktu itu. Misalnya muncul sebutan "spesifik" karena kondisi topografinya (pohon, rawa, sungai, daratan), asal - usul penduduknya (Banjar, Pecinan, Cirebonan), dan adanya peristiwa penting pada kawasan tersebut (Kampung Geni, Kampung Baru).<br /><br />Pola tatanan permukiman menunjukkan adanya toponim dan pengelompokan blok permukiman, menunjukkan fenomena historis pada waktu itu, yaitu antara lain : <br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Darat</span><br />Arti : tempat ( daratan ) orang pertama kali menapakan kakinya setelah melakukan pelayaran di laut<br />Penduduknya : perantau dan pedagang dari berbagai etnik, setelah dipindahnya pelabuhan Mangkang ke boom Lama. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Ngilir</span><br />Arti : hilir atau tempat sungai mengalir<br />Penduduk : kebanyakan orang Madura dan Bugis<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Kali Cilik</span><br />Asal usul nama : di daerah tersebut terdapat sungai kecil (Kali Cilik), salah satu anak sungai Kali Semarang.<br />Penduduk : kebanyakan orang Melayu dan Banjar<br />Keterangan : dulu Kali Cilik dapat dilalui oleh perahu kecil. dan sampai dengan tahun 1955 kapal keruk (sarana untuk membersihkan sungai) masih bisa masuk Kali Cilik.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Pencikan</span><br />Asal usul nama : Encik adalah sebutan perempuan dari Malaka<br />Penduduk : kebanyakan orang Melayu<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Geni</span><br />Asal usul nama : geni adalah api ( bahasa Jawa )<br />Penduduk : kebanyakan orang pribumi pedalaman<br />Keterangan : pada awalnya kawasan ini dikenal dengan sebutan <span style="font-style:italic;">"deni"</span>. Tahun 1975 daerah ini terbakar, kira - kira 200 meter persegi lahan permukiman terbakar. Sejak itu daerah ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Geni.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Cerbonan</span><br />Arti : kota Cirebon<br />Penduduk : mayoritas orang perantau dari Cirebon<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Banjar</span><br />Arti : etnik Banjar (Kalimantan)<br />Penduduk : mayoritas orang Banjar<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Baru </span><br />Penduduk : mayoritas orang Banjar dan orang Arab<br />Keterangan : diperkirakan blok ini muncul belakangan, sehingga disebut dengan Kampung Baru.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Pranakan</span><br />Asal usul kata : peranakan atau campuran <br />Arti : hasil dari perkawinan dua budaya yang berbeda<br />Penduduk : mayoritas keturunan peranakan antara Arab dengan koja dan Banjar<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Pulo Patekan</span><br />Arti : Pulau<br />Penduduk : mayoritas orang pribumi dari pedalaman<br />Keterangan : blok permukiman ini dikelilingi oleh jalan, menyerupai pulau di tengah lautan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Bedas</span><br />Arti : tidak diketahui secara pasti<br />Penduduk : Orang Arab Hadramaut<br />Keterangan : daerah ini termasuk kawasan Pesantren Darat<br /><br /><span style="font-weight:bold;">* Kampung Darat Nipah</span><br />Asal usul nama : tidak diketahui pasti<br />Penduduk : kebanyakan orang Cina dan Arab Hadramaut<br />Keterangan : kawasan ini terbagi menjadi tiga segmen (zona), yaitu Belanda (pergudangan dan kantor dagang), Cina (Pasar Regang) dan Arab (permukiman).Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-7044239716012730452009-02-13T04:53:00.000-08:002009-02-13T05:07:50.600-08:00KLENTENG KAMPUNG MELAYU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhXqhcI3tnWBpjlo9cOzgaREEeV7Zoh7e7eBbZlNSWYbkSZOUf02B8EEK7WR9Flv8HMTOuAZtU7NBOPgmmb8UbhXzg62YQejd4iBT8nV9ClJ-b3To96v69gkLDU5epJ2IOCP8lgIAUPlxp/s1600-h/Klenteng+KM.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 215px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhXqhcI3tnWBpjlo9cOzgaREEeV7Zoh7e7eBbZlNSWYbkSZOUf02B8EEK7WR9Flv8HMTOuAZtU7NBOPgmmb8UbhXzg62YQejd4iBT8nV9ClJ-b3To96v69gkLDU5epJ2IOCP8lgIAUPlxp/s320/Klenteng+KM.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5302267657326612578" /></a><br />Klenteng Kampung Melayu terletak di koridor Layur bagian barat, tepat tegak lurus dengan Kali Semarang dimana waktu itu terdapat pasar Regang. Klenteng ini memuja pada dewa bumi, bukan kepada dewa Mazu (dewanya para nelayan dan perantau Cina).<br /><br />Menurut kepercayaan orang Cina, klenteng ini berfungsi untuk mengusir dan membentengi roh - roh jahat yang hendak menghalangi kelancaran usaha perdagangan di Pasar Regang, dan yang terutama adalah menjaga keselamatan dan kehidupan etnik Cina di Kampung Melayu.<br /><br />Menurut Liem Thian Joe, dalam proses pembangunannya klenteng ini mengalami sedikit kendala, karena adanya pro dan kontra dari komunitas Arab Hadramaut yang tinggal berdekatan dengan komplek rumah toko (ruko) Cina.<br /><br />Menurut Singgih, Klenteng ini baru dapat dibangun setelah pembangunan Masjid Menara selesai, yaitu sekitar tahun 1800-an. Penyelesaian permasalahan dilakukan dengan mengadakan pembicaraan dan kesepakatan antara pihak Arab Hadramaut dan Cina, yang disaksikan dan disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda.Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-36236050609992673662009-02-06T06:40:00.000-08:002009-02-06T06:43:41.182-08:00THE COMMUNITIES OF KAMPUNG MELAYUThe community of Kampung Melayu applied the principal of reciprocally, especially in the field of trading and religious activities. However, the using of Malay language and principal of Islam in the daily life has contributed to the harmonization between people with the various cultural backgrounds.<br /><br /> The community of Kampung Melayu also practiced a mutual cooperation (<span style="font-style:italic;">gotong royong</span>) between ethnics. This spirit also supported by the norm of Islamic teaching, as a majority religion in this community.<br />The social structure system in Kampung Melayu has been reflected by the relation between land lord group and the people who rent land from them. Physically the gap could be shown by the wall which was build around the landlord’s house, meanwhile the people who rent their land stayed in the ordinary house for the common people.<br /><br /> There were some local leaders, in which each of them had their own responsibility:<br /> Islamic leader: there were two well known traditional Islamic leader which had a great influenced to the community, one was the Arabic ancestry (from Habib Arab Hadramaut) and the other from Javanese ancestry (Kiai Saleh darat)<br />• Arabic Captain, who got the trust from the Dutch Government to control and manage the commercial and social life of the Hadramaut group (the Arab group) in Kampung Melayu<br />• The Chinese Local chief (Lurah) to control and manage the land tax in this settlement<br />• The Local chiefs of cosmopolitan’s trader are group in Kampung Melayu. There were three local chief leaders which had responsibility to manage and make coordination all the problem of land tax and buildings, to manage and control the community for living harmoniously, and keep the good relationship between ethnics in Kampung Melayu.Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-30342320947453023532009-02-06T06:34:00.000-08:002009-02-06T06:38:37.672-08:00KAMPONG'S ARRANGEMENT SYSTEMThe arrangement of Kampung Melayu area was organized by <span style="font-style:italic;">wijkmeester</span> which was responsible to Oei Tiong Ham, the Chinese Captain which stayed in Gedong Gula in the Chinese settlement. In Kampung Melayu there was an Arab Captain which responsible to act as a mediator between his native society and Dutch government.<br /> Originally, there were three villages in Kampung Melayu: Banjarsari villlage, Melayu darat village and Dadapsari village. The village’s chief (<span style="font-style:italic;">Lurah</span>) has pointed by Chinese landlord which has power given by the Dutch government. The Chiefs had responsibility to collect land tax from the people who stayed in their area. The first village's chief came from Madura. <br /> Melayu darat village, as the first village in Kampung Melayu occupied by the Malay people (Malaka and Palembang), meanwhile the majority ethnic in Banjarsari village came from Banjar (South Kalimantan), Sampit and Pangkalan Bun (Central Kalimantan). Dadapsari village as the youngest village in Kampung Melayu covered area around Petek street. This village can be said as the most strategic place for settlement as its location close to the centre of Semarang city at that time. Dadapsari came from the word "dadap"; one kind of trees grows in swamp area in Central Java.Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-69852883512084610232009-02-06T06:08:00.000-08:002009-02-06T06:11:49.233-08:00The Chronological Development of Kampung MelayuThe development of commercial activities and the settlement in Kampung Melayu has greatly influenced by the macro development of Semarang city. In the period of mid 18 century to 20 century, Kampung Melayu had a great improvement because of the activity of the old harbor, the Tawang Railway Station, the Johar market, and the development activity of trading and offices in the centre of old city area of Semarang.<br /><br /> In this century, we can see the historical phenomenon which has influenced to the pattern of settlement and the living society especially in the term of socio-cultural and economic:<br />• Since 1750, the pattern of Kampongs Malaya has changed and developed<br />• After 1800, the trading activities in Kampung Melayu have increased, especially with the build of the new canal. This phenomenon has influenced also to the development of the settlement in this area.<br />• Around 1900, the poverty’s rate of Semarang’s inhabitants has increased because of diseases. This disease has been caused by the increasing urbanization. Since 1935, many traders from other area/districts came and lived in Kampung Melayu which has caused the settlement became crowded. The kampong Improvement’s program introduced by Dutch Government at that time could not solve the settlement’s problem in Semarang.<br />• In the period of 20 century until now, the trading activities in Kampung Melayu has been up and down because of the economic and political situation in Semarang.Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-88670011895953070472009-02-06T05:54:00.000-08:002009-02-06T06:08:29.306-08:00THE CHARACTERISTIC OF THE KAMPUNG MELAYU SETTLEMENT IN SEMARANGKampung Melayu Semarang is a trader cosmopolitan settlement formed in 17th century. It lies at the edge of Semarang River near Semarang Harbor. Islam is embraced by most people here and Malay language is spoken here. There is a mosque called ”masjid Menara” and a temple. They stand side by side at Layur Street. These two primary elements are the landmark of Kampung Melayu. Kampung Melayu grows and develops along with the potencies of the former Semarang Harbor, commerce activity, Islamication and the influence of the Dutch Colony. The uniques of Kampung Melayu is seen from the various building styles, facades, building details, and the housing of the people as a reflection of the multi-ethnic society culture such as Arabic, China, Malay, Banjar (Kalimantan), Bugis, Madura, and Cirebon. The arrangement and toponym patterns of the settlement blocks show the identity and kinship community of each ethnics. <br /><br /> The condition of Kampung Melayu is very apprehensive now. This settlement seems crowded, slum, unhealthy, unsaved, and it is prone to decreasing on the environment quality and it is also in a flood area. These problems are caused by various factors and aspects, related to development of Semarang City now. The existence of Kampung Melayu in the process of development was evicted by new settlements in ”Tanah Mas” that did not observe the condition of surroundings. They are afraid that this problem and transformation that happened in this settlement can omit locus solus and the Kampung Melayu identity as a cosmopolitan settlement for the multi-ethnic traders.<br /><br /> In an effort to dig up and to describe the characteristic of Kampung Melayu in Semarang, an architectural research has been done with an urban history, morphology, and typology approach. The research was explorative, research analysis pointed to the connection among the series of urban history, morphology and typology. The discussion on Kampung Melayu settlement was emphasized on the architectural and socio-culture aspects found in settlement.<br /><br /> The discovery they got expresses the precedent and the characteristic of Kampung Melayu settlement. The precedent has been obtained from the chronology of the historical development and phenomena happened at the settlement. The precedent is a benefit for the development of Kampung Melayu in the future while the characteristic of Kampung Melayu expresses and reflects a cosmopolitan settlement to the multi-ethnic traders. This condition can be seen through the harmonious relationship among the democratic ethnics. <br /><br /> The architectural characteristic of Kampung Melayu expresses a heterogeneity and plurality cultural society :<br />• As a whole, the characteristic of Kampung Melayu expresses such a dynamic and a variety constructed environment containing meaning and produces a unique and specific architectural work. <br />• These elements of variety forms, style, and ethnicities can be found, felt, and explained one by one up to now, as a historical phenomena description and as a socio-cultural community. <br />• The forms and styles of houses in Kampung Melayu express meaning, syncretism (hybrid and ecliptic building) as well as the ethnicity development on the housing’s occupations.Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-32165854826195486032009-02-04T04:30:00.000-08:002009-02-04T04:47:18.428-08:00TIPOLOGI RUMAH MELAYU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhz5CJ6vcWg9xpp3PmiyWALSxcQLBCpFIHms653Y8y522Oo6lJjmXk50MuskwbRvYsNWysmgUYk4WqYzMZ6qcN4vtfM0sygAQdztEAiCq0jr1sL44R-96xRzGqmmw2dpaKahm2GK94MND1n/s1600-h/Tipologi+Melayu.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 276px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhz5CJ6vcWg9xpp3PmiyWALSxcQLBCpFIHms653Y8y522Oo6lJjmXk50MuskwbRvYsNWysmgUYk4WqYzMZ6qcN4vtfM0sygAQdztEAiCq0jr1sL44R-96xRzGqmmw2dpaKahm2GK94MND1n/s400/Tipologi+Melayu.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5298922759286273106" /></a><br />Etnik Melayu yang tinggal di kampung Melayu masih dapat ditemui di Kampung Pencikan dan Kampung Kali Cilik. Bangunan arsitektural murni Melayu sudah jarang ditemui karena umumnya sudah ditinggalkan pemiliknya atau diubah dengan bentuk / style yang lain. Di Kampung Kali Cilik masih terdapat satu rumah yang merupakan style bangunan Melayu yang ditinggali oleh padagang berlian yang bernama bapak Khairul Amman yang berasal dari etnik Banjar. Style rumah melayu menunjukkan percampuran style Melayu, Banjar dan kolonial Belanda. Sampai saat ini kondisi rumah masih terlihat terawat dengan baik.Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-80279601017339382532009-01-31T00:13:00.000-08:002009-01-31T00:17:26.747-08:00PENGERTIAN KAMPUNG MELAYU• Abdullah Salim, seorang dosen dari Universitas Sultan Agung Semarang, menyatakan bahwa Kampung Melayu berkembang sekitar awal abad 17 bersamaan dengan kedatangan orang – orang Banjar (Kalimantan), Samudra Pasai, Gujarat dan Arab Selatan untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam ke Jawa. Sebutan Kampung Melayu muncul karena penduduknya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan pemersatu.<br />• Soesatyo Darnawi, mengungkapkan bahwa berdasarkan peta kuno tahun 1695 di Semarang sudah ada etnik Melayu di Kampung Melayu, yang terletak di dekat pelabuhan lama Semarang. Dengan adanya penduduk Melayu dan Cina menunjukkan bahwa pada tahun 1600-an sudah ada pelabuhan di Kota Semarang.<br />• Menurut Jawahir Muhammad digunakan istilah Kampung Melayu (<span style="font-style:italic;">De Malaische Kampong</span>) untuk membedakan dengan perkampungan pribumi (<span style="font-style:italic;">De Javanesse Hegarijen</span>), Pecinan (<span style="font-style:italic;">Chinesen Kamp</span>) dan Pekojan (Perkampungan kaum Koja : kelompok etnik keturunan Pakistan, Gujarat dan Arab).<br />• Carik Kapung Geni mengatakan bahwa penduduk di Kampung Melayu sejak dulu menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (<span style="font-style:italic;">liqua franca</span>), baik dalam berinteraksi social maupun hubungan perdagangan.<br />• Singgih Prasetyo, selaku tetua Kampung Melayu mengemukakan bahwa asal muasal disebut Kampung Melayu karena dulu banyak tinggal orang orang Melayu (Malaka) dan Banjar (Kalimantan). Kediaman mereka kebanyakan adalah rumah panggung dengan ciri khas Melayu dan Banjar. Komunitas Melayu tinggal di daearah Kampung Pencikan, Kampung Kali Cilik dan Kampung Bedas. Rumah panggung kuno dengan style Melayu yang dibangun sekitar tahun 1800-an masih ada di Kampung Kali Cilik, kondisinya masih kokoh dan terawatt. Sedangkan komunitas Banjar tinggal di Kampung Banjar, Kampung Baru dan Kampung Geni. Rumah panggung kuno dengan style Banjar berada di Kampung Baru, dibangun sekitar tahun 1800-an. Sayangnya rumah ini telah dibongkar pada bulan Mei tahun 2000. Pada sekitar bulan Juli tahun 2008 penulis berkesempatan mengunjungi Kampung Baru. Rumah yang telah dibongkar telah berganti pemilikan menjadi milik seorang beretnik Arab dan telah dibangun rumah tinggal dengan style Arab. Hal ini terlihat dari bentuk jendela dan pintu, ornamen dan warna yang digunakan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Jadi Kampung Melayu adalah permukiman kosmopolitan kaum pedagang yang berkembang sekitar abad 17, terletak di dekat pelabuhan lama Semarang. Penduduknya terdiri dari orang – orang Melayu (Malaka), Banjar (Kalimantan), Arab Hadramaut, Cina, Koja, Bugis, Madura, Cirebon dan sebagainya. Mereka menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan. Keunikan dan kekhasan Kampung Melayu terlihat dari pluralitas budaya dan keanekaragaman bentuk arsitektur, yaitu adanya rumah permanen, semi permanen dan rumah panggung dengan style Melayu, Banjar maupun Indis. Karakteristik tersebut membedakan Kampung Melayu dengan Kampung Pribumi, Pecinan, Kauman dan Pekojan. Maka sampai sekarang permukiman ini tetap dikenal dengan sebutan Kampung Melayu. </span><br /><br /><span style="font-style:italic;">(Wardhani, Ansyah Girindra. (2000), Karakteristik Permukiman Kampung Melayu di Semarang : Kajian Arsitektural dengan Pendekatan Urban History, Morfologi dan Tipologi, Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)<br /></span>Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-71407496922587863402009-01-31T00:08:00.000-08:002009-02-04T04:22:53.678-08:00KAMPUNG MELAYU PADA ABAD 17 SAMPAI PERTENGAHAN ABAD 18<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjz3Wv-kgxAOflPk8CckPKhtTNrYSn6qi9TqAtjncrMbkbMh3YM07X62-dpEI42G7aVheuGd2kPabiU9VHkdLfUoMDLaGnoW7EgAHHbJYCfZbBVQsEhwgpfhvNG0f6dSNY2Q3V1ElzpClj0/s1600-h/Elemen+Primer+KM.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 243px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjz3Wv-kgxAOflPk8CckPKhtTNrYSn6qi9TqAtjncrMbkbMh3YM07X62-dpEI42G7aVheuGd2kPabiU9VHkdLfUoMDLaGnoW7EgAHHbJYCfZbBVQsEhwgpfhvNG0f6dSNY2Q3V1ElzpClj0/s320/Elemen+Primer+KM.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5298916486035274754" /></a><br />Menurut Wiryomartono (1995) setelah abad 15 permukiman mulai berkembang dalam organisasi kota di Jawa, tepatnya pada saat Islam berkembang di Jawa. Konstribusi Islam dalam pemantapan permukiman kota adalah pemantapan pasar yang permanen sebagai unsur yang penting dari pertumbuhan permukiman kota. Islam memantapkan kegiatan pasar bagi desa – desa yang semula bergilir menjadi terpusat. Pemusatan ini memungkinkan tumbuhnya urbanisasi karena intensifnya kegiatan ekonomi, hal ini nampak kuat di daerah – daerah pesisir utara Pulau Jawa.<br />Pernyataan di atas mendasari analisa pertumbuhan Kampung Melayu di Semarang, sebagai salah satu permukiman kuno yang berkembang sekitar abad 17, yang terletak di daerah pesisir utara Jawa, tepatnya di sebelah barat Kali Semarang.<br />Embrio Kampung Melayu adalah dusun Ngilir, kawasan ini terletak pada pertemuan Kali Semarang dengan Kali Cilik. Kali Semarang merupakan transportasi utama pada waktu itu, dan Kali Cilik adalah cabang dari Kali Semarang yang dapat dilalui oleh perahu – perahu kecil. Titik pertemuan kedua aliran sungai tersebut merupakan daerah strategis (<span style="font-style:italic;">growth pole</span>), sehingga muncullah pasar tradisional yang disebut dengan Pasar Ngilir, dan kemudian berkembang Pasar Regang di dekat Pasar Ngilir. Pasar Regang adalah daerah kompleks rumah toko (ruko) Pecinan, dimana etnis Cina telah bermukim di Semarang sekitar tahun 1450. Keberadaan pasar terlihat pada peta Semarang tahun 1695, yaitu adanya garis tegak lurus pada titik pertemuan Kali Semarang dan Kali Cilik.<br />Menurut Liem, nama Dusun Ngilir berasal dari kata <span style="font-style:italic;">ngili</span> (bahasa Jawa) yang artinya mengalir. Dimana pada waktu itu daerah tersebut merupakan daratan di tepi sungai. Pada dusun Ngilir tersebut bermukim orang – orang Melayu dan juga tempat bermukim bagi kebanyakan orang yang mata pencahariannya membawa penumpang yang akan berkunjung ke daerah lain di sepanjang pesisir pantai, seperti Jepara, Kendal, Demak, Pekalongan dan sebagainya dengan menggunakan perahu – perahu kecil (jungkung).<br />Konon di daerah kanan kiri Kai Cilik, muncul rumah – rumah panggung dengan style Melayu dan Banjar dengan pola tatanan tegak lurus aliran Kali Cilik. Di sebelah utara titik pertemuan kedua sungai tersebut berkembang permukiman etnis Madura dan Bugis yang datang melalui Kali Semarang.<br />Di sebelah barat Kali Semarang berkembang rumah toko (ruko) Pecinan yang dikenal dengan sebutan Pecinan Muara. Menurut Johannes Widodo, tipologi pola tatanan permukiman Pecinan di daerah pantai utara Jawa selalu ada dua kutub utama (nodes), yaitu Pecinan Muara yang berperan sebagai gateway, dan Pecinan Dalam sebagai trade settlement. <br />Masyarakat Kampung Melayu sudah sejak lama menganut ajaran dan norma – norma Islam dalam kehidupan mereka, terutama orang Melayu (Malaka), Banjar (Kalimantan), Arab Hadramaut, Cina, Koja, Bugis dan Madura sudah melalang buana ke berbagai penjuru dunia. Lombart mengemukakan bahwa masyarakat Islam kebanyakan berasal dari etnik Melayu, Jawa, Bugis, Tamil, Bengali, Gujarat, Cina dan unsur Arab hanya sedikit jumlahnya. Unsur pemersatu kalangan multi etnik ini adalah kedudukan bahasa Melayu sebagai liqua franca, dimana sejak abad 16 telah menjadi bahasa Islam. Kehidupan sosio kultural masyarakat Kapung Melayu membuktikan kebenaran pernyataan tersebut di atas, dimana mayoritas masyarakatnya adalaha pedagang, beragama Islam dan terbiasa menggunakan bahasa Melayu dalam berinteraksi sosial.<br />Menurut Kartono (1987) pada dasarnya konversi agama Islam mempermudah hubungan dunia perdagangan Internasional, yang sejak lama telah dikuasai oleh pedagang Gujarat, Bengala, Malaka dan Sumatra. Agama Islam yang tidak mengenal perbedaan asal keturunan, bangsa dan kedudukan sosial (<span style="font-style:italic;">stand</span>) memberi pembenaran dan legitimasi kepada kedudukan para pedagang tersebut. Maka pemeluk agama Islam pertama terdapat di kalangan pedagang dan kota pelabuhan menjadi pusat kegiatan agama serta pangkal pemencarannya, seperti pasai, Tuban, Gresik, Kudus, Demak, Cirebon. Kota Pelabuhan Semarang mempunyai komunikasi intensif dengan pusat – pusat perdagangan, seperti Malaka, Pasai, Bengala, Gujarat dan Persi, kesemuanya juga merupakan pusat agama Islam pada abad 15. <br /><br /><span style="font-style:italic;">(Wardhani, Ansyah Girindra. (2000), Karakteristik Permukiman Kampung Melayu di Semarang : Kajian Arsitektural dengan Pendekatan Urban History, Morfologi dan Tipologi, Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)</span>Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-38298081663331147232008-09-11T08:16:00.000-07:002009-02-13T04:51:33.854-08:00MASJID MENARA<span style="font-size:100%;"><a style="font-family: verdana;" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-W18h0RAr7UxfZUHTxlBgF7emfQKen4pSOPeje0_PevRcP2JSt5GDDFCbcTfFZ6ggUJaDiSOnZk9tgE3wfINm2IKNqWfPkGFYFILjkWBSiKJCtZOMpgDFLMU7_bWyQVTX3eBYKPSsJSNl/s1600-h/masjid+layur+kp+melayu+smg.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-W18h0RAr7UxfZUHTxlBgF7emfQKen4pSOPeje0_PevRcP2JSt5GDDFCbcTfFZ6ggUJaDiSOnZk9tgE3wfINm2IKNqWfPkGFYFILjkWBSiKJCtZOMpgDFLMU7_bWyQVTX3eBYKPSsJSNl/s320/masjid+layur+kp+melayu+smg.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5244786529375521618" border="0" /></a> <span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 51, 51);font-family:verdana;" >Landmark Kampung Melayu</span><span style="font-family:verdana;"><span style="color: rgb(0, 51, 51);"> </span>adalah </span><span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 51, 51);font-family:verdana;" >Masjid Menara</span><span style="font-family:verdana;">, merupakan masjid tua yang terletak di jalan Layur Semarang. Masjid tua ini dibangun dipinggir Kali Semarang oleh kaum Arab Hadramaut, dimana masyarakat di Kampung Melayu mengenalnya sebagai kaum habib.<br /><br />Masjid menara merupakan elemen fisik primer yang paling utama di lingkungan Kampung Melayu Semarang. Menara masjid yang tinggi menjulang dengan bentuk menyerupai mercusuar merupakan simbol dan ciri spesifik <span style="font-style:italic;">(locus solus)</span> Kampung Melayu.<br /><br />Masjid Menara dibangun tahun 1802 oleh ulama Arab Hadramaut (Yaman). Bentuk dan struktur bangunan masjid adalah bangunan dua lantai, atap berbentuk meru (pengaruh Demak). Lantai masjid menggunakan material kayu, pondasi menggunakan umpak batu bata dengan kedalaman 3 meter dan lebar 1 meter.<br /><br />Pada masjid terdapat tangga melingkar menuju atas bangunan, tangga terbuat dari kayu dan ditanam pada dinding menara. Menurut Muhsin Alatas selaku pengurus Badan Wakaf Masjid Menara (wawancara tahun 2000), tahun 1948 menara tersambar petir, akibatnya ketinggian menara tinggal dua pertiga bagian saja.<br /><br />Bangunan induk dan menara masjid mengalami transformasi bentuk, karena adanya pengurukan lantai sekitar 200 centimeter. Bangunan induk masjid di lantai satu, tidak lagi berfungsi sebagai tempat ibadah, maka pada lantai dua terdapat perluasan ruangan yaitu di sisi timur laut dan tenggara.<br /><br />Konstruksi dan detail masjid masih asli dan terawat dengan baik. Biaya perawatan masjid diperoleh dari bangunan - bangunan (27 rumah) yang diwakafkan untuk kepentingan masjid menara.<br /><br />Sejak tahun 1956 pada lantai dasar bangunan induk masjid dibuat tempat wudlu. Sebelumnya muslimin yang hendak sholat di masjid menara, terbiasa mengambil air wudlu di Kali Semarang (di sisi timur masjid). Konon air sungai masih terlihat jernih dan tidak berbau.<br /><br />Menurut Muchsin Alatas (wawancara tahun 2000) pada masjid Menara masih disimpan kitab - kitab kuno, yang konon dibawa oleh para habib untuk menyebarkan agama Islam di Semarang sekitar pada abd 18. Kitab - kitab kuno tersebut menggunakan bahasa dan tulisan Arab asli, yang dibaca pada acara - acara ritual Islam. Kitab tersebut hanya boleh dibaca dan didengar oleh kalangan Islam ortodok, untuk menjaga kesakralan kitab kuno tersebut. <br /><br />Warga Kampung Melayu, khususnya kalangan Arab memiliki kecintaan yang sangat besar pada bangunan bersejarah ini. Hal ini terbukti pada saat merealisasikan program normalisasi sungai (program pemerintah sekitar tahun 1980-an, untuk memperbaiki lingkungan sekitar Kali Semarang), masjid tersebut seharusnya mengalami penggusuran dan pemotongan, diperkirakan hanya menaranya saja yang tertinggal. Tetapi dengan gigih mereka memperjuangkan keberadaan masjid menara tersebut, sehingga sampai sekarang masjid ini masih berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik.Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4493175057951762751.post-89540116792575862622008-08-22T09:35:00.000-07:002008-08-22T10:41:07.646-07:00SEKILAS TENTANG KAMPUNG MELAYU<span style=";font-family:";font-size:12;" ><span style="font-weight: bold;">Kampung Melayu </span>merupakan permukiman multi etnik yang berkembang sejak abad ke 17 di kota Semarang. Kata<span style=""> </span>Melayu berasal dari sebutan untuk orang-orang yang datang di sekitar( pinggiran )<span style=""> </span>Kali Semarang. Masyarakat Kampung Melayu mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang dan beragama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu (<span style="font-style: italic;">lingua franca</span>) . Sebutan Kampung Melayu juga digunakan untuk membedakan kampung pribumi (misalnya Kampung Kulitan), Kauman, Pecinan dan Permukiman Belanda.<br /><br />Awalnya permukiman terbentuk karena para pedagang dari Cina, Gujarat dan Arab mulai menetap dan tinggal di dekat pantai dan di pinggir kali Semarang. Kampung Melayu di kenal dengan landmarknya Masjid Layur dengan menaranya yang tinggi yang berada di jalan Layur. Pada jalan layur juga terdapat klenteng dewa bumi yang menghadap langsung ke sungai.<br /><br />Karakteristik Kampung Melayu terlihat pada keanekaragaman budaya dan etnis, diantaranya Cina, Arab, Gujarat,Malaysia, Bugis, Madura, Banjar (Kalimantan), Jepara, Cirebon. Keunikan permukiman multi etnis ini terlihat pada pola penataan permukiman dan tipologi bangunannya. Masih terlihat beberapa rumah panggung perpaduan antara arsitektur Melayu dan kolonial Belanda, rumah Cina dan juga rumah Arab yang khas memiliki dinding tinggi dan sangat tebal yang bertujuan untuk melindungi wanita dari laki-laki bukan muhkrimnya. Sebagian besar rumah Arab terdiri dua lantai dengan jumlah kamar yang banyak yang bertujuan untuk menampung anak-anak mereka dan para tamu. Umumnya atap bangunan Arab adalah kubah tapi kenyataan di sini untuk mempermudah <i>maintenance </i>maka atap terbuat dari genteng dan berbentuk limasan yang merupakan cerminan tradisi lokal.<br /><br />Sayangnya Kampung Melayu dikenal sebagai kawasan yang rawan dan kumuh, karena setelah tahun 1980-an kawasan ini sering digenangi air pasang laut. Dulu Kali Semarang sangat berpotensi sebagai jalur transportasi perdagangan internasional, pelabuhannya dikenal dengan sebutan Boom Lama. Sekarang kondisi kali Semarang semakin memprihatikan, kotor, berbau, dangkal dan berwarna hitam pekat. Akibatnya ada beberapa rumah yang ditinggalkan dan beralih fungsi sebagai sarang burung walet. Namun pada gang - gang kecil masih banyak rumah asli juga yang masih tetap bertahan, meski dengan kondisi rumah dan lingkungan yang tidak layak.<br /><br />Ditulis oleh : Ansyah Girindra Wardhani<br />Sumber : wawancara dan literatur<br /></span>Ansyah Girindra Wardhanihttp://www.blogger.com/profile/05092255577090745614noreply@blogger.com0