Jumat, 22 Agustus 2008

SEKILAS TENTANG KAMPUNG MELAYU

Kampung Melayu merupakan permukiman multi etnik yang berkembang sejak abad ke 17 di kota Semarang. Kata Melayu berasal dari sebutan untuk orang-orang yang datang di sekitar( pinggiran ) Kali Semarang. Masyarakat Kampung Melayu mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang dan beragama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu (lingua franca) . Sebutan Kampung Melayu juga digunakan untuk membedakan kampung pribumi (misalnya Kampung Kulitan), Kauman, Pecinan dan Permukiman Belanda.

Awalnya permukiman terbentuk karena para pedagang dari Cina, Gujarat dan Arab mulai menetap dan tinggal di dekat pantai dan di pinggir kali Semarang. Kampung Melayu di kenal dengan landmarknya Masjid Layur dengan menaranya yang tinggi yang berada di jalan Layur. Pada jalan layur juga terdapat klenteng dewa bumi yang menghadap langsung ke sungai.

Karakteristik Kampung Melayu terlihat pada keanekaragaman budaya dan etnis, diantaranya Cina, Arab, Gujarat,Malaysia, Bugis, Madura, Banjar (Kalimantan), Jepara, Cirebon. Keunikan permukiman multi etnis ini terlihat pada pola penataan permukiman dan tipologi bangunannya. Masih terlihat beberapa rumah panggung perpaduan antara arsitektur Melayu dan kolonial Belanda, rumah Cina dan juga rumah Arab yang khas memiliki dinding tinggi dan sangat tebal yang bertujuan untuk melindungi wanita dari laki-laki bukan muhkrimnya. Sebagian besar rumah Arab terdiri dua lantai dengan jumlah kamar yang banyak yang bertujuan untuk menampung anak-anak mereka dan para tamu. Umumnya atap bangunan Arab adalah kubah tapi kenyataan di sini untuk mempermudah maintenance maka atap terbuat dari genteng dan berbentuk limasan yang merupakan cerminan tradisi lokal.

Sayangnya Kampung Melayu dikenal sebagai kawasan yang rawan dan kumuh, karena setelah tahun 1980-an kawasan ini sering digenangi air pasang laut. Dulu Kali Semarang sangat berpotensi sebagai jalur transportasi perdagangan internasional, pelabuhannya dikenal dengan sebutan Boom Lama. Sekarang kondisi kali Semarang semakin memprihatikan, kotor, berbau, dangkal dan berwarna hitam pekat. Akibatnya ada beberapa rumah yang ditinggalkan dan beralih fungsi sebagai sarang burung walet. Namun pada gang - gang kecil masih banyak rumah asli juga yang masih tetap bertahan, meski dengan kondisi rumah dan lingkungan yang tidak layak.

Ditulis oleh : Ansyah Girindra Wardhani
Sumber : wawancara dan literatur