Minggu, 15 Februari 2009

KAMPUNG MELAYU PADA PERTENGAHAN ABAD 18 SAMPAI ABAD 19



Pada tahun 1743 pelabuhan Mangkang dipindah di Boom Lama (ngebom) oleh Belanda, kepindahan diawali oleh kapal – kapal kompeni Belanda. Perkataan Ngeboom berarti adalah tempat persinggahan kapal – kapal (boom = bahasa Belanda).

Kepindahan pelabuhan bertujuan untuk mempermudah pengangkutan barang – barang dari kapal – kapal (wakang) ke jung – jung kecil untuk dibawa ke daerah pasar dan daerah pergudangan. Boom lama dianggap jauh lebih baik, karena lebih dekat dengan pusat kota lama yang terkenal dengan perdagangannya yang ramai dan berkembang pesat baik di sepanjang Kali Semarang maupun di Pasar Pedamaran.

Boom Lama merupakan pintu gerbang kedatangan (gateway) bagi pedagang - pedagang yang memasuki Semarang. Wilayah di sekitar pintu gerbang Boom Lama dinamakan Darat, karena daerah tersebut merupakan daratan tempat dimana orang untuk pertama kalinya mendarat di Semarang. Menurut Liem Thian Joe akhirnya daerah di sekitar Boom Lama menjadi ramai terutama di dekat pelabuhan, hal ini dikarenakan ramainya aktivitas bongkar muat barang – barang dari kapal besar menuju kapal kecil (jung) dan juga banyak kaum perantau atau pedagang beristirahat di tempat tersebut. Berangsur – angsur banyak orang mulai tinggal dan menetap di kawasan tersebut, dan muncullah desa kecil yang disebut dengan Dusun Darat.

Perkembangan dan kemajuan aktivitas perdagangan mempengaruhi perkembangan daerah tersebut. Permukiman di dusun Darat semakin padat dan merembes ke arah barat dan selatan, dan akhirnya menyatu dengan dusun Ngilir yang telah berkembang sejak abad 17. Kemudian lama kelamaan Dusun Darat dan Dusun Ngilir semakin ramai dan menjadi suatu kawasan permukiman bagi kosmopolit kaum pedagang dari berbagai penjuru dan etnik, yang semakin kompleks dan dinamis. Dalam perkembangannya kedua dusun tersebut dikenal sebagai KAMPUNG MELAYU oleh masyarakat Semarang.

Pada pertengahan abad 18 etnisitas di Kampung Melayu semakin kompleks. Pada dasawarsa ini etnik Arab Hadramaut mulai berkembang, menetap dan membangun tempat ibadah. Tujuan kedatangan komunitas Arab Hadramaut (keturunan habib) ke Semarang adalah untuk berdagangan dan menyebarkan agama Islam. Permukiman Arab berada di belakang komplek ruko – ruko Pecinan di Pasar Regang (koridor Layur). Pada mulanya mereka membangun surau sekitar tahun 1800-an di daerah Ngilir, tepatnya di titik pertemuan Kali Semarang dan Kali Cilik. Kemudian tahun 1802 mereka membangun masjid menara di daerah Pasar Regang (koridor Layur). Masjid ini lebih besar dan megah daripada surau di Ngilir. Ruangan dua lantai masjid ini bisa menampung pedagang muslim yang singgah di pelabuhan Lama Semarang.

Pada periode ini pedagang – pedagang dari Cirebon banyak yang merantau dan menetap di Kampung Melayu. Komunitas ini hidup berkelompok di daerah yang dikenal dengan Cirebonan (bahasa Jawa = daerah tempat tinggal orang Cirebon). Pada kawasan ini banyak rumah – rumah kampung semi permanen dengan style Jawa dan Indis (sinkretisme rumah kampung Jawa dengan atap mansard atau hiasan kemuncak).

Menurut Wiryomartono setelah kedatangan Herman Willem Daendels ke Jawa, terjadi perubahan pola tatanan kota di Semarang. Daendels menciptakan praktek kerja paksa dan berhasil membuat jalan raya pos (de Groote Postweg) yang memungkinkan adanya jalur perhubungan darat dari timur ke barat. Disamping itu untuk merangsang kolonisasi spontan dan menghadapi kesulitan keuangan. Daendels menjual hak atas tanah kepada para pengusaha Cina maupun Timur Asing (Arab Hadramaut). Jalan raya pos dan jaringan kereta api mendorong urbanisasi, dibukanya perkebunan – perkebunan di pedalaman membuka kesempatan tersebarnya kegiatan ekonomi dan institusi pemerintah.

Fenomena tersebut berpengaruh pada pola tatanan Kampung Melayu, yaitu terjadi perubahan orientasi bangunan (ke sungai dan ke jalan darat). Permukiman semakin padat karena besarnya urbanisasi, dan berkembangnya usaha real estat, yaitu berlakunya sistem sewa tanah atau bangunan di Kampung Melayu oleh tuan – tuan tanah Arab dan Cina di wilayah tersebut.

Dari peta Semarang tahun 1825 terlihat perkembangan Pasar Regang, yaitu terlihat adanya deretan rumah – rumah permanen yang saling berhadapan membentuk koridor di Jalan Layur. Kemudian muncul gang (jalan) baru yang tegak lurus pada Kali Cilik dan paralel dengan Pasar Regang (Koridor Layur). Ditinjau secara makro, terdapat struktur jalur perhubungan yang semakin kompleks, dan berkembang villa – villa tempat peristirahatan orang Eropa di sepanjang jalan Bojong. Pada dasawarsa ini orang – orang Arab dan Cina di Kampung Melayu tidak hanya mempunyai perahu sebagai sarana transportasi, tetapi mulai membudaya penggunaan delman dan tandu dalam kehidupan mereka.

Aktivitas perdagangan di Semarang semakin maju dan ramai, dimana terlihat adanya keluar masuk barang dagangan yang setiap tahun selalu bertambah besar jumlahnya. Terutama dengan dibukanya terusan Suez (1869), yang memudahkan perdagangan dan kedatangan koloni Belanda ke Jawa dalam jumlah besar.

Akhirnya Belanda kembali memindahkan pelabuhan Semarang ke tempat yang dianggap jauh lebih baik, dengan tujuan utamanya untuk mengembangkan pelabuhan menjadi lebih besar. Maka pemerintah Belanda membuat kanal (Kleine Boom) dengan membuka salah satu cabang Kali Semarang, sehingga jalur pelabuhan menjadi lurus dan lebih baik. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa Boom Lama tidak lagi menguntungkan dan berpotensi sebagai pelabuhan, karena letaknya sangat jauh dan banyaknya belokan (tikungan) di Kali Semarang, sehingga mempersulit kelancaran lalu lintas perdagangan dan pelayaran.

Menurut Liem kanal direncanakan sejak tahun 1854, tetapi pelaksanaannya baru dilakukan pada tahun 1873 dan selesai tahun 1875. Panjang kanal 1180 meter dengan lebar kanal 23 meter. Pelabuhan baru tersebut dikenal dengan KALI BARU, atau oleh orang Cina disebut sin-kang. Di kanan kiri kanal baru dibangun sarana prasaran perdagangan dan pelabuhan, seperti kantor – kantor dagang, daerah pergudangan, markas pasukan Belanda dan jembatan putar (untuk memperlancar jalannya kereta keruk yang berfungsi untuk membersihkan aliran sungai). Secara visual deretan bangunan – bangunan kolonial tersebut mengingatkan pada rumah – rumah di negeri Belanda di sepanjang kanal (grancht)

Tidak ada komentar: