Rabu, 08 November 2023

HILANGNYA IDENTITAS KAMPUNG MELAYU SEJAK PERTENGAHAN ABAD 20

Menurut Singgih, sekitar tahun 1970-an aktivitas perdagangan antar pulau mengalami kemunduran, karena adanya penguasaan perdagangan antar pulau oleh etnik Cina. Aktivitas perdagangan dan pelayaran di pelabuhan lama Semarang mulai terlihat surut. Hal ini terjadi karena pengaruh proses sedimentasi ke arah utara, instruksi air laut, proses pendangkalan dan penyempitan volume kanal baru, sehingga kapal dan jung tidak dapat berlabuh di Kawasan ini. Fenomena tersebut memberi dampak yang cukup besar pada kemajuan aktivitas perdagangan di Kampung Melayu. Pada dasawarsa ini terjadi perkembangan permukiman baru yang sangat pesat di daerah hinterland kota Semarang . Eksistensi permukiman Kampung Melayu semakin terdesak oleh perkembangan permukiman baru di wilayah Semarang barat terutama dengan adanya pembangunan Perumahan Tanah Mas dan Semarang Indah, yang hanya mementingkan kebutuhan Kawasan (site) tersebut tanpa memperhatikan lingkungan di sikitarnya. Sejak itu Kampung Melayu mulai terjebak pada lingkaran permasalahan yang tiada akhir sampai sekarang, terrutama masalah banjir, rob dan menurunnnya kualitas lingkungan permukiman tersebut. Identitas Kampung Melayu pada saat ini lebih dikenal sebagai Kawasan mati, kumuh, daerah rawan banjir, rob dan juga rawan kriminalitas. Akibatnya kawasan tersebut mulai ditinggalkan oleh penghuninya ke daerah yang lebih baik. Ironisnya bangunan – bangunan kuno yang mulai aus dipergunakan sebagai tempat budidaya walet. Keterkaitan dan besarnya rasa memiliki masyarakat terhadap permukiman (place) semakin luntur, sehingga tidak lagi terlihat adanya keserasian hubungan antara manusia dan lingkungan permukiman tersebut. Karakter dan identitas Kampung Melayu yang mengakar pada nilai – nilai historis dan pengungkapan makna mulai sirna, elemen – elemen primer dan image Kawasan tidak mampu lagi mengkomunikasikan makna dan nilai yang ada. Hal ini terjadi karena hilangnya spirit of place beriringan dengan turunnya kualitas lingkungan di Kampung Melayu. Dalam perkembangannya Kampung Melayu mengalami transformasi fungsi dan bentuk bangunan, mengubah pola tatanan permukiman dan social budaya masyarakatnya. A. Transformasi Fungsi Bangunan Place merupakan wujud dari kumpulan ruang memmpunyai makna kontektual dan nilai – nilai budaya. Fumiko Maki, berpendapat bahwa kota ( kawasan) merupakan kronologi historis sebagao perwujudan ruang dan bentuk kolektif. Maka dalam penataan Kawasan perlu dikaji aspek aristektural dan sosio kultural Kawasan tersebut yang dikaitkan dengan urban history. Place adalah tempat yang memiliki karakter yang jelas, kronologi perkembangan tempat tersebut dapat menjelaskan genius loci dan spirit of place. Untuk menghindari ketunggalrupaan pada suatu lingkungan binaan, perlu adanya Upaya mempertahankan identitas dan sense of place. Place dalam suatu lingkungan bukan hanya berbeda, tetapi mempunyai identitas perseptual yang jelas yaitu: recognizable, memorable, vivid. Setiap tempat pada lingkungan yang luas tidak dapat dibedakan dengan yang lain secara radikal, pusat – pusat penting yang mempunyai makna akan memiliki keunikan tersendiri. Kualitas dari identitas (sense of place) merupakan titik temu dari lingkungan yang unik dan bermakna. Identitas dapat diuji dengan mengidentifikasi di lapangan dan keberadaannya dapat diprediksikan dalam proposal perencanaan. Saat ini banyak bangunan rumah tinggal di Kampung Melayu mengalami perubahan fungsi bangunan menjadi tempat budidaya sarang burung walet. Fenomena transformasi fungsi bangunan banyak terjadi di daerah Pasar Regang (Koridor Layur). Bahkan sekarang mulai merembes ke blok – blok permukiman di sebelah barat Pasar Regang, misalnya di Kampung Banjar dan Kampung Bedas. Menurut Muchsin Alatas, beberapa bangunan kuno di sepanjang koridor Layur yang ditinggalkan oleh penghuninya diwakafkan untuk perawatan masjid Menara, sekitar 27 rumah yang diwakafkan. Sayangnya belum ada koordinasi dan arah pemikiran perawatan dan pemanfaatan bangunan secara ortimal dan terpadu. Sehingga bangunan – bangunan tersebut hanya berdiri kokoh, tidak mencerminkan makna dan nilai budaya tertentu. Pada malam hari daerah – daerah tersebut terlihat mati, menakutkan dan tidak memiliki spirit of place, imageability dan legibility.

Tidak ada komentar: