Rabu, 08 November 2023

KAMPUNG MELAYU PADA ABAD 19 SAMPAI PERTENGAHAN ABAD 20

Permasalahan yang dihadapi tata ruang kota Semarang pada masa pemerintahan kolonial tidak lepas dari politik pemisahan etnik antara Eropa, Asia dan pribumi (inlander). Pemetaan permukiman – permukiman kota berdasarkan segregasi ini mulai berlangsung secara resmi setelah awal abad 19. Segregasi etnik dibuat oleh pemerintah kolonial sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu mencolok dalam kategori dualistic yaitu pribumi dan nonpribumi dengan memasukan etnik Cina, Arab, India, Koja, ataupun Melayu ke dalam sistem tata ruang permukiman kota. Ditinjau secara makro, Kampung Melayu sebagai salah satu kampung kuno di Semarang tidak lepas dari permasalahan di atas. Segregasi etnik kampung – kampung di Semarang tercermin dari segregasi wilayah yang semakin tajam. Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan – aturan yang mengatur ruang gerak etnik – etnik tertentu untuk mempermudah pengawasan dan pengotrolan mereka. Di beberapa tempat di Asia Tenggara, seperti Malaka, Penang dan Singapura, implementasi politik segregasi tersebut tidak seketat seperti kota – kota kolonial. Etnik Cina merupakan target utama agar pemerintah colonial dapat mengontrol dan mengekang dominasi ekonomi tersebut. Pada dasawarsa ini pola tatanan Kampung Melayu menunjukan adanya segregasi wilayah yang terbentuk secara alamiah, masyarakat permukiman ini membentuk komunitas – komunitas pada zona – zona tertentu berdasarkan kekerabatan dan identitas etnik mereka. Hal ini terlihat pada toponim nama – nama blok (gang) di Kampung Melayu. Segregasi wilayah di Kampung Melayu membentuk pola tatanan yang khas, secara visual terlihat heterogenitas dan kekomplekan social budaya masyarakatnya dan juga keanekaragaman karya arsitektur yang unik. Permukiman mengalami perubahan meskipun lamban, karena cuaca tetap berperan menentukan pengembangannya, menghalangi pembangunan rumah bertingkat dan menyebabkan terpeliharanya lingkungan hijau. Peningkatan populasi penduduk di beberapa kota di Jawa sejak tahun 1815 – 1930 menimbulkan masalah lingkungan kota yang tidak sehat, baik dalam sanitasi maupun kehidupan sosial penduduknya. Penderitaan rakyat Jawa terangkat ke permukaan pada tahun 1899 dan 1890, yaitu adanya bahaya kekurangan pangan. Urbanisasi mengalami puncaknya pada tahun 1913 hingga 1920, wabah penyakit dan sanitasi yang buruk pada bagian – bagian utama kota merupakan masalah serius bagi kota di Jawa. Menurut Singgih (tetua Kampung Melayu), pada tahun 1935 etnik pribumi di pedalaman yang berprofesi sebagai pedagang mulai berdatangan di Kampung Melayu, karena permukiman ini mempunyai akses yang menguntungkan, yaitu terletak di dekat pelabuhan dan pusat kota lama. Pesatnya urbanisasi di Kampung Melayu berdampak pada peningkatan populasi penduduk secara drastis. Akhirnya Kampung Melayu semakin padat, communal space dan lahan hijau semakin berkurang, sarana dan prasarana permukiman tidak memenuhi kebutuhan penghuninya, kelaparan dan kemiskinan mengancam mereka. Sehingga Masyarakat di Kampung Melayu mudah sekali terserang wabah penyakit dan angka kematian penduduk semakin meningkat. Hal ini juga berpengaruh pada dinamika pergerakan perekonomian dan perdagangan di Kampung Melayu, khususnya di Pasar Ngilir dan Pasar Regang. Maka timbulah anggapan bahwa kelompok Eropa lebih terjamin kebutuhan makanan dan kesehatannya, sehingga mudah terhindar dari wabah penyakit yang menyerang banyak penduduk pribumi. Perlakuan berbeda antara golongan Eropa dan golongan Pribumi terhadap bahaya penyakit dan kematian tersebut, memperlebar jurang pemisah antara dua masyarakat tersebut. Kemudian pemerintah Belanda secara gencar membuat propaganda untuk menangggulangi masalah urban melalui propaganda perbaikan kampung (kampong verbeeteing). Program perbaikan perumahan pribumi tersebut diusulkan oleh Thomas H Karsten pada Konggres Desentralisasi mengenai perencanaan kota di Bandung pada tahun 1920. Laporan Karsten mengenai masalah kota di Belanda ini mendapat dukungan banyak peserta. Didorong oleh usulan ini, pemerintah Hindia Belanda mendirikan suatu NV (perseroan terbatas) Volkshuisvesting tahun 1922. Van Mooy atas nama Perumnas Pemerintah Hidia Belanda menugaskan Karsten untuk membuat rancangan fisik perumahan pribumi di Mlaten, Semarang. Perumahan ini dibangun pada tahun 1924 dengan maksud dapat disewakan untuk kebutuhan papan pribumi yang sehat dan terjangkau. Meskipun demikian apa yang dikatakan Karsten dalam Konggres Desentralisasi Kota tahun 1920 belum terlaksana. Kondisi umum permukiman pada periode 1905 – 1920 sedemikan buruknya sehingga masuk agenda harian pemerintah colonial. Untuk membantu menyelesaikan masalah – masalah kota tersebut tahun 1905 dibentuk Lembaga perwakilan kota yaitu gemeente (semacam kota praja dan dewan penasehatnya). Di Semarang Lembaga ini lahir tahun 1907. Karsten sebagai aktivitas social politik Vereeniging van Locale Belangen, organisasi yang memperjuangkan gagasan desentralisasi pemerintah kota, buruknya lingkungan permukiman rakyat mendorongnya untuk turut mengambil bagian. Dalam artikel di Imdische Bouwkundig Tijdshrift (1922) Karseten memberikan tekanan pada masalah ekonomi, sosial, Kesehatan serta masalah pemberdayaan komunitas : “Mengenali masalah permukiman kampung kota ternyata tidak bisa dipisahkan dari pemahaman tradisi bertempat tinggal dari rakyat kebanyakan. Pendekatan rasional rumah murah seperti Negeri Belanda tidak memiliki nilai langsung di Jawa” (Karsten, 1931) Upaya perbaikan kampung di Semarang, dapat dikatakan belum memenuhi sasaran yang hendak dicapai, contohnya pemerintah Belanda telah mengupayakan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana di Kampung Melayu, dengan melakukan perbaikan sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih (air ledeng) pada titik - titik strategis, dan pembersihan aliran sungai (Kali Cilik dan Kali Semarang) secara intensif. Tetapi laju perkembangan urbanisasi di Kampung Melayu sangat pesat, sehingga pemenuhan sarana dan prasarana permukiman selalu di bawah standar kebutuhan minimal (batas ambang). Gerakan perbaikan di Kampung Melayu pada waktu itu tidak terlihat hasilnya baik secara fisik maupun non fisik, karena masyarakat pendatang pada waktu itu sudah tidak terbendung lagi.

Tidak ada komentar: